Hotel di Mataram Kaget Dapat Tagihan Royalti Musik dari LMKN, Musik di TV Kamar Kena Royalti
- pexel @Jean van der Meulen
Viva, Banyumas - Para pengusaha hotel di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), dibuat kaget sekaligus bingung setelah menerima surat tagihan royalti musik dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Tagihan ini muncul mendadak, tak lama setelah viralnya sengketa royalti musik di gerai Mie Gacoan Bali beberapa waktu lalu.
Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM), I Made Adiyasa, menjelaskan bahwa pihak LMKN beralasan semua usaha yang menyediakan sarana hiburan seperti musik wajib membayar royalti sesuai ketentuan Undang-Undang Hak Cipta.
Menurut LMKN, meski hotel tidak memutar musik secara langsung seperti di restoran atau kafe, keberadaan televisi di kamar dianggap sebagai fasilitas yang memungkinkan tamu menikmati musik.
“Teman-teman hotel sudah disurati. Mereka kaget karena merasa tidak pernah memutar musik di area publik hotel. Tapi menurut LMKN, di kamar ada TV, dan TV itu bisa digunakan untuk mendengarkan musik oleh tamu. Itu yang jadi dasar penagihan,” kata Adiyasa dikutip dari laman Instagram @nyinyir_update_official Lebih lanjut.
Adiyasa menjelaskan bahwa besaran royalti musik untuk hotel dihitung berdasarkan jumlah kamar. Hotel dengan 0–50 kamar dikenakan tarif tertentu, sedangkan hotel dengan 50–100 kamar memiliki tarif berbeda.
Skema ini berbeda dengan restoran atau kafe yang tarifnya dihitung berdasarkan jumlah kursi. Kewajiban ini membuat pengusaha hotel merasa kebingungan, terutama karena selama ini tidak ada sosialisasi atau penjelasan detail terkait mekanisme pembayaran royalti musik untuk hotel.
Selain masalah substansi, cara penagihan yang dilakukan LMKN juga menjadi sorotan. Adiyasa menyebut, sejumlah anggota AHM mengaku tidak nyaman karena penagihan terkesan seperti menagih utang besar.
“Dari cerita teman-teman hotel, cara nagihnya itu seperti kita ini berutang. Ditanyai kapan bayarnya. Untuk sementara, saya minta teman-teman hotel yang menerima tagihan untuk meminta ruang diskusi dengan LMKN,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, Ni Ketut Wolini, turut mengkritik kebijakan ini.
Menurutnya, mekanisme penarikan royalti musik di daerah belum memiliki dasar teknis dan petunjuk pelaksanaan yang jelas.
Ia menilai, aturan tersebut perlu dibahas lebih detail agar tidak membebani pelaku usaha yang merasa tidak memanfaatkan musik secara komersial. Kasus ini menambah daftar panjang perdebatan terkait royalti musik di Indonesia.
Meski tujuannya melindungi hak cipta pencipta lagu, pelaksanaannya di lapangan masih memicu kontroversi, terutama pada sektor usaha yang merasa tidak menggunakan musik sebagai layanan utama