Ketua Komisi III DPR RI: Amnesti Prabowo Solusi Efektif Atasi Over Kapasitas Lapas yang Tembus 400 Persen
- instagram @habiburokhmanjkttimur
Viva,Banyumas - Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa kebijakan amnesti massal yang diberikan oleh Presiden RI Prabowo Subianto terhadap 1.116 narapidana, termasuk di dalamnya Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, adalah langkah efektif dan tepat sasaran dalam menangani krisis over kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia.
Dalam keterangannya pada Jumat, 1 Agustus 2025, Habiburokhman mengungkapkan bahwa kelebihan penghuni lapas saat ini telah mencapai titik kritis.
“Rata-rata setiap LP mengalami over capacity hingga 400%. Lebih dari setengah penghuni merupakan pengguna narkotika. Ini masalah yang sangat serius,” ujarnya dilansir dari Viva.
Oleh karena itu, dirinya mendukung penuh keputusan Presiden Prabowo yang memberikan amnesti kepada narapidana terpilih sebagai bagian dari strategi nasional dalam reformasi sistem pemasyarakatan.
Langkah tersebut, menurut Habiburokhman, tidak hanya berfungsi sebagai solusi jangka pendek untuk mengurangi kepadatan lapas, namun juga membuka ruang untuk kebijakan pemidanaan yang lebih berkeadilan dan manusiawi.
DPR RI sendiri telah memberikan persetujuan resmi terhadap dua surat Presiden yang diajukan pada 30 Juli 2025. Surat Presiden Nomor R43/Pres/072025 berisi permintaan abolisi terhadap Thomas Trikasih Lembong, terdakwa kasus impor gula.
Sedangkan Surat Presiden Nomor 42/Pres/072025 mengusulkan amnesti untuk 1.116 orang, termasuk Hasto Kristiyanto, yang menjadi terdakwa kasus suap pergantian antar waktu (PAW) DPR RI. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, memastikan bahwa keputusan tersebut telah melalui pertimbangan menyeluruh oleh parlemen.
Ia menyebut pemberian amnesti ini sebagai bagian dari langkah konstitusional Presiden Prabowo untuk menjaga stabilitas sosial dan efektivitas sistem hukum. Kebijakan ini juga menjadi sorotan publik karena turut menyentuh figur politik nasional.
Namun, dari sisi kebijakan penegakan hukum dan pemasyarakatan, langkah ini dapat dinilai sebagai manuver berani untuk merespons kondisi nyata di lapangan.
Dengan angka over kapasitas lapas nasional yang menembus 400%, serta banyaknya napi dari kalangan pengguna narkotika yang bisa direhabilitasi, amnesti terkontrol dan selektif seperti ini dinilai layak untuk dikembangkan lebih lanjut.
Masyarakat kini menanti tindak lanjut dari kebijakan ini. Harapannya, program amnesti tidak berhenti hanya sebagai simbol politik, melainkan menjadi bagian integral dari reformasi hukum dan sistem peradilan