TOPIK KHUSUS AKHIR PEKAN: Indonesia Dalam Bayang-Bayang Neo-ORBA, Militerisasi Demokrasi dan Ancaman Kebebasan Pers
Viva Banyumas – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru disahkan menjadi alarm bahaya bagi demokrasi Indonesia.
Di balik klaim modernisasi dan profesionalisme militer, revisi ini membuka kembali pintu yang seharusnya sudah tertutup: peran ganda militer dalam kehidupan sipil.
Ini bukan sekadar revisi administratif, melainkan lonceng peringatan bagi kemungkinan kembalinya Dwifungsi ABRI, sebuah praktik yang membawa Indonesia ke dalam cengkeraman otoritarianisme selama lebih dari tiga dekade.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan dari kebangkitan militerisme ini adalah meningkatnya represi terhadap suara-suara kritis, terutama media dan jurnalis.
Pengiriman simbol-simbol teror, seperti kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo, menambah daftar panjang intimidasi terhadap pers di Indonesia.
Sejarah telah membuktikan bahwa ketika militer merambah ranah sipil, kebebasan berekspresi menjadi salah satu korban pertama.
Indonesia memiliki pengalaman pahit dengan dominasi militer dalam ranah sipil.
Pada masa Orde Baru, Dwifungsi ABRI memberikan wewenang luas kepada militer, bukan hanya sebagai penjaga pertahanan, tetapi juga sebagai kekuatan politik yang mendikte kebijakan pemerintahan.
Tentara tidak hanya berpatroli di perbatasan, tetapi juga di ruang legislatif, eksekutif, bahkan ekonomi.
Akibatnya, pembungkaman oposisi, persekusi terhadap aktivis, serta kontrol represif terhadap masyarakat sipil menjadi pemandangan biasa.
Reformasi 1998 berusaha mencabut akar otoritarianisme ini dengan memisahkan militer dari ranah politik.
Namun, revisi UU TNI hari ini mengancam untuk mengaburkan kembali batas tersebut.
Salah satu pasal kontroversialnya memperbolehkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil tertentu, yang dalam praktiknya bisa menjadi celah besar bagi militerisasi pemerintahan.
Ini bukan hanya pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil, tetapi juga langkah mundur menuju era ketika kekuatan bersenjata bisa kembali menentukan arah negara.
Dalam negara demokrasi, supremasi sipil adalah prinsip fundamental.
Militer harus tunduk pada otoritas sipil, bukan sebaliknya.
Namun, revisi UU TNI justru mengarah pada pembalikan prinsip tersebut.
Alih-alih memperkuat profesionalisme militer dalam pertahanan negara, revisi ini menciptakan peluang bagi keterlibatan mereka dalam urusan sipil yang seharusnya menjadi ranah birokrasi dan politik demokratis.
Lebih berbahaya lagi, keterlibatan prajurit dalam jabatan sipil juga menciptakan ketimpangan struktural.
Aparatur sipil negara yang seharusnya direkrut berdasarkan kompetensi dan meritokrasi kini harus bersaing dengan personel militer yang memiliki jalur instan ke dalam birokrasi.
Ini bukan sekadar anomali, tetapi bentuk nyata dari militerisasi pemerintahan yang bisa menggerus kredibilitas institusi sipil.
Sejarah mencatat bahwa ketika militer masuk ke ranah sipil, impunitas semakin meluas.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan militer sering kali berakhir tanpa keadilan, karena ada tembok kekebalan hukum yang sulit ditembus.
Dengan revisi ini, bukan tidak mungkin kekebalan hukum semakin diperkuat dengan dalih stabilitas dan keamanan negara.
Argumen bahwa pelibatan militer dalam jabatan sipil akan memperkuat pemerintahan adalah dalih usang yang sudah digunakan sejak era Orde Baru.
Faktanya, pelibatan militer dalam jabatan sipil bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan elite yang ingin mempertahankan kekuasaan mereka dengan alat represif yang lebih efektif.
Ketika militer menempati posisi-posisi strategis dalam pemerintahan, wajah birokrasi sipil perlahan berubah menjadi institusi yang lebih loyal kepada komando militer dibandingkan kepada konstitusi dan rakyat.
Ini bukan sekadar teori konspirasi, tetapi realitas yang sudah terjadi di berbagai negara dengan sejarah kuat militerisme dalam politik.
Demokrasi yang semestinya berbasis pada kebebasan sipil dan supremasi hukum justru dijalankan dalam bayang-bayang senjata.
Indonesia, dengan sejarah panjang otoritarianisme berbasis militer, seharusnya belajar dari masa lalu, bukan mengulanginya.
Militerisasi dalam demokrasi tidak hanya mengancam supremasi sipil, tetapi juga kebebasan berekspresi.
Kasus terbaru pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo merupakan sinyal bahwa tekanan terhadap pers semakin intens.
Ancaman semacam ini bukan sekadar teror simbolik, tetapi pesan bahwa ada pihak-pihak yang ingin membungkam jurnalisme kritis.
Ini bukan fenomena baru. Sebelum aktivis HAM Munir meninggal, ia menerima ancaman serupa berupa bangkai kepala ayam.
Di luar negeri, aktivis lingkungan asal Brasil, Chico Mendes, juga menerima bangkai kepala kambing sebelum akhirnya dibunuh.
Pola ancaman semacam ini menjadi indikasi bahwa kelompok-kelompok dengan kekuatan besar merasa terancam oleh kebenaran yang diungkap oleh jurnalis dan aktivis.
Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi kebebasan pers.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Namun, implementasi undang-undang ini seringkali belum optimal, terbukti dari masih maraknya kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis.
Di tengah ancaman ini, solidaritas antarjurnalis dan masyarakat sipil menjadi kunci.
Jika tekanan terhadap kebebasan pers terus dibiarkan, bukan hanya jurnalis yang akan menjadi korban, tetapi seluruh rakyat Indonesia yang berhak atas informasi yang jujur dan transparan.
Revisi UU TNI ini harus ditolak secara tegas.
Masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, dan seluruh elemen demokrasi harus bersuara.
Tidak cukup hanya mengkritisi, tetapi perlu ada gerakan nyata untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak menjadi pintu masuk bagi otoritarianisme baru yang berselubung reformasi militer.
Reformasi sektor keamanan yang sejati bukan tentang memperluas peran militer, melainkan memperkuat supremasi sipil, menegakkan akuntabilitas, dan memastikan bahwa militer hanya menjalankan fungsi utamanya: menjaga pertahanan negara, bukan mengendalikan pemerintahan.
Jika revisi ini dibiarkan, kita tidak hanya mundur ke masa lalu, tetapi juga menyerahkan demokrasi kita ke tangan mereka yang seharusnya berada di barak, bukan di kursi pemerintahan.
Sejarah telah mengajarkan bahwa kekuasaan militer yang tidak terkendali selalu membawa konsekuensi yang mengerikan bagi demokrasi dan hak asasi manusia.