Terungkap! Hanya Irvian Bobby yang Dijuluki Sultan di Kasus Kemenaker Rp69 Miliar oleh Ebenezer, Ini Alasannya
- instagram @official.kpk
Viva, Banyumas - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya membuka fakta terbaru terkait kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Dari 11 tersangka yang ditetapkan, hanya satu orang yang dijuluki “Sultan”, yaitu Irvian Bobby Mahendro (IBM). Julukan tersebut diberikan langsung oleh mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan (IEG) atau Noel, yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini.
Noel menyebut Irvian Bobby sebagai “Sultan” karena dinilai sebagai orang dengan uang terbanyak di lingkungan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Kemenaker.
Sosok “Sultan” di Kasus Kemenaker
Irvian Bobby bukan nama asing di internal Kemenaker. Ia pernah menjabat sebagai Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personel K3 periode 2022–2025.
Dari hasil penyelidikan KPK, Bobby disebut sebagai penerima aliran dana terbesar dalam kasus tersebut, yakni mencapai Rp69 miliar. Ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan, istilah “Sultan” yang melekat pada Bobby hanyalah julukan, bukan status resmi.
Namun, hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa posisi Bobby sangat sentral dalam pusaran kasus korupsi K3.
Penetapan Tersangka dan Penahanan
Pada 22 Agustus 2025, KPK resmi menetapkan Immanuel Ebenezer bersama 10 orang lainnya sebagai tersangka. Mereka diduga melakukan pemerasan terhadap pihak-pihak yang mengurus sertifikat K3.
Semua tersangka, termasuk Irvian Bobby, langsung ditahan untuk 20 hari pertama di Rumah Tahanan KPK Gedung Merah Putih, Jakarta. Pada hari yang sama, Presiden Prabowo Subianto juga mencopot Noel dari jabatannya sebagai Wamenaker.
Dampak Besar bagi Kemenaker
Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut sertifikasi K3 yang seharusnya berkaitan langsung dengan keselamatan tenaga kerja. Dugaan praktik pemerasan membuat kredibilitas Kemenaker dipertanyakan.
Banyak pihak menilai bahwa kasus ini adalah momentum untuk membenahi tata kelola sertifikasi K3 agar lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik korupsi