Miris! Siswa SMP di Boyolali Bolos Gara Gara Belum Lunas Seragam Rp 841 Ribu
- pexel @pixabay
Viva, Banyumas - Miris! Siswa SMP di Boyolali bolos gara-gara belum lunas seragam Rp 841 ribu kini menjadi sorotan publik. Kasus ini mencuat setelah seorang wali murid, Heru Waskito, melaporkan ke DPRD Boyolali bahwa anaknya tidak bersekolah karena belum menerima seragam olahraga. Sang anak merasa malu menjadi satu-satunya siswa yang tidak mendapatkan seragam saat dibagikan di kelas.
Padahal orangtuanya sudah berusaha keras. Heru, yang bekerja sebagai tukang ojek pangkalan, bahkan menjual televisinya untuk membayar Rp 450 ribu. Namun, sisa pembayaran seragam belum mampu ia lunasi.
Heru menjelaskan bahwa ia sudah tiga kali menemui guru agar anaknya bisa tetap mendapat seragam olahraga, tetapi permohonannya ditolak. Siswa SMP di Boyolali bolos gara-gara belum lunas seragam Rp 841 ribu juga mendapat perhatian dari Komisi IV DPRD Boyolali. Ketua Komisi, Suyadi, menilai kebijakan sekolah yang membagikan seragam di dalam kelas justru menurunkan mental siswa.
Ia menegaskan bahwa kasus ini mencerminkan adanya praktik jual beli seragam di sekolah negeri, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Dikutip dari akun Instagram @boyolalikita, Menurut Suyadi, tindakan sekolah tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga mengabaikan kondisi ekonomi keluarga siswa.
Ironisnya, siswa yang terpaksa bolos tersebut merupakan penerima Program Indonesia Pintar (PIP), yang seharusnya membantu meringankan beban biaya pendidikan. DPRD berencana memanggil pihak sekolah serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Boyolali untuk meminta klarifikasi terkait permasalahan ini.
Di sisi lain, Kepala SMPN 2 Teras, Purwanto, mengklaim pihak sekolah tidak terlibat langsung dalam pengadaan seragam. Ia menyebutkan bahwa pengadaan dilakukan oleh pihak luar. Meski begitu, ia berjanji akan berkoordinasi dengan guru terkait untuk mencari solusi.
Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar, mengingat pengelolaan seragam tetap berlangsung di lingkungan sekolah. Kasus ini menjadi cermin betapa praktik pungutan berkedok seragam sekolah masih membebani orangtua siswa, terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.