Dari PT Kallista hingga Sawit Terbaru: Denda Ratusan Miliar, Ekosistem Tetap Luluh Lantak

Kebakaran gambut rusak ekosistem dan picu krisis kesehatan
Sumber :
  • pexel @pixabay

Viva, Banyumas - Pemerintah kembali menjatuhkan denda besar kepada perusahaan sawit pelanggar hukum lingkungan. Terbaru, pada 12 Juli 2025, sebuah perusahaan kelapa sawit dijatuhi hukuman membayar Rp282 miliar akibat membakar lahan gambut.

Nelayan Cirebon Temukan Harta Karun Ratusan Miliar, Lapor ke Pemerintah Malah Diminta

Putusan denda ratusan miliar kepada perusahana sawit yang melakukan kerusakan dan pembakaran hutan ini merupakan bagian dari upaya penegakan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Denda ini melanjutkan deretan hukuman sebelumnya terhadap korporasi pelaku kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Tertipu Lowongan Sawit di Facebook, Warga Garut Terlantar di Kaltim Gaji Tak Dibayar

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah perusahaan sawit tercatat harus membayar ganti rugi besar:

  • PT Kumai Sentosa (2021): Rp175 miliar untuk 3.000 ha terbakar
  • PT Sumber Sawit Sejahtera (2020): Rp160,5 miliar
  • PT Waringin Agro Jaya (2013–2018): Rp639 miliar
  • PT National Sago Prima: Rp1,07 triliun
  • PT Jatim Jaya Perkasa: Rp491 miliar PT Kallista Alam: Rp366 miliar.

Dilansir dari akun Instagram @faktafakta, Namun, di balik angka fantastis tersebut, para pakar dan pemerhati lingkungan mempertanyakan apakah denda semacam ini benar-benar sepadan dengan kerusakan yang ditimbulkan.

Mulai Juli 2025! Truk ODOL di Boyolali Terancam Kurungan hingga Rp24 Juta Denda

Kebakaran hutan bukan hanya menghanguskan ribuan hektare vegetasi, tetapi juga menghancurkan ekosistem, melenyapkan keanekaragaman hayati, serta menyebabkan polusi udara lintas wilayah bahkan lintas negara.

Organisasi lingkungan seperti WALHI dan Greenpeace menyebut bahwa kerugian ekonomi akibat karhutla bisa mencapai triliunan rupiah per tahun. Hal ini jauh melampaui angka denda yang dijatuhkan oleh pengadilan, yang sering kali sulit direalisasikan.

Dalam praktiknya, sejumlah perusahaan bahkan enggan membayar ganti rugi dengan alasan ketidakmampuan finansial atau menggugat balik secara hukum. Selain itu, menurut pakar hukum lingkungan, sistem penilaian kerusakan saat ini terlalu sempit karena hanya menilai luas area terbakar.

Padahal, kerugian sosial, kesehatan masyarakat, dan dampak perubahan iklim adalah konsekuensi yang tidak kalah besar namun sering kali terabaikan dalam proses peradilan.

Masyarakat sipil pun menuntut reformasi sistem evaluasi kerusakan lingkungan dan penerapan sanksi yang tidak hanya bersifat finansial, tapi juga pembekuan izin, pemulihan kawasan, hingga pidana korporasi.

Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, langkah tegas terhadap pelaku karhutla memang penting. Namun, keadilan ekologis baru akan tercapai jika hukuman benar-benar mengembalikan keseimbangan alam, bukan sekadar menghadirkan angka besar dalam dokumen putusan