Musim Kemarau Mundur, Kenapa Hujan Masih Lebat di Jawa hingga Bali Bulan Juni 2025?, Ini Penjelasan BMKG
- pexel @Cihan Yüce
Viva, Banyumas - Musim kemarau mundur pada tahun 2025 di Indonesia, terutama terlihat dari data BMKG Dasarian I Juni 2025. Hanya sekitar 19 persen wilayah yang benar-benar sudah memasuki musim kemarau, sementara sebagian besar daerah lainnya masih mengalami kondisi berbeda. Fenomena ini menandakan pergeseran pola cuaca yang cukup signifikan.
Hujan masih lebat di Jawa dan Bali menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan musim kemarau mundur. Wilayah-wilayah tersebut bersama dengan beberapa daerah lain seperti NTB dan NTT, masih menerima curah hujan yang cukup tinggi hingga awal Juni 2025.
Kondisi ini membuat puncak musim kemarau menjadi lebih lambat datang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada bulan Juni 2025, data BMKG menunjukkan bahwa sekitar 72 persen wilayah Indonesia masih mengalami curah hujan normal, bahkan 5 persen wilayah menerima curah hujan di atas normal.
Keadaan ini menjadi perhatian khusus karena berpengaruh pada sektor pertanian dan aktivitas masyarakat yang biasanya menyesuaikan diri dengan musim kemarau yang lebih awal.
Wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi, Maluku, serta bagian selatan Papua masih diguyur hujan deras yang menyebabkan mundurnya musim kemarau, bahkan sampai awal Juni.
Kondisi ini sesuai dengan prakiraan awal BMKG sejak bulan Maret, yang memprediksi musim kemarau tahun ini akan lebih pendek dan mundur dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Peningkatan curah hujan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor skala global dan lokal. BMKG menjelaskan bahwa indeks ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) yang saat ini berada dalam kondisi netral menjadi salah satu penyebabnya.
Selain itu, aktivitas gelombang atmosfer seperti Madden-Julian Oscillation, gelombang Kelvin, dan Rossby juga masih aktif di wilayah Indonesia.
Suhu muka laut yang hangat, terutama di perairan sekitar Bali, turut mengundang udara lembap yang memicu hujan deras. Meski musim kemarau diperkirakan mencapai puncaknya pada bulan Agustus, potensi hujan lebat masih tinggi terutama di wilayah Kalimantan, Maluku, Papua, dan sebagian Jawa Barat hingga Bali.
BMKG pun mengimbau masyarakat dan sektor pertanian untuk tetap waspada terhadap gangguan cuaca ekstrem, seperti hujan lebat yang dapat menyebabkan banjir dan angin kencang, yang masih berisiko terjadi hingga Oktober 2025.
Pergeseran musim ini tentu memberikan tantangan tersendiri bagi berbagai sektor, khususnya pertanian yang sangat bergantung pada pola musim. Warga dan petani diharapkan mempersiapkan langkah mitigasi agar dampak negatif dari perubahan cuaca ini dapat diminimalisir