Kuliner Singapura Kolaps? Ratusan Restoran Tutup Setiap Bulan di 2025!
- pexel @Life Of Pix
Viva, Banyumas - Gelombang penutupan terus menghantam sektor kuliner Singapura, menandakan gejala kolaps yang makin nyata. Sepanjang tahun 2025, tercatat ratusan restoran yang harus tutup setiap bulan, menunjukkan tekanan berat yang dialami pelaku usaha makanan dan minuman di negara tersebut.
Kondisi ini mencerminkan betapa sektor kuliner Singapura berada di ambang kolaps, dengan tren tutupnya ratusan restoran setiap bulan selama 2025 melampaui masa-masa krisis sebelumnya. Dibandingkan tahun 2024 yang mencatat 254 penutupan bulanan, situasi saat ini jauh lebih mengkhawatirkan.
Tak hanya usaha kecil, bahkan restoran besar pun ikut terdampak dalam gelombang kolaps sektor kuliner Singapura. Sepanjang 2025, data menunjukkan bahwa ratusan restoran tutup setiap bulan, memperkuat sinyal bahwa tantangan finansial semakin tak tertahankan di industri ini.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran besar terhadap masa depan industri F&B (food and beverages) di negara tersebut.
Bahkan, tingkat penutupan saat ini melampaui masa pandemi, periode yang sebelumnya dianggap sebagai pukulan terberat bagi sektor kuliner global.
Faktor utama di balik gelombang penutupan ini adalah kenaikan biaya operasional yang tidak terkendali. Biaya sewa tempat, harga bahan baku, dan gaji tenaga kerja meningkat tajam, membuat banyak pelaku usaha kewalahan menjaga kelangsungan bisnis mereka.
Dilansir dari laman reuters dan CNA, Salah satu contoh nyata adalah Wine RVLT, restoran sekaligus bar anggur populer yang akan resmi tutup pada Agustus 2025.
Alvin Goh, salah satu pendirinya, mengakui bahwa bisnis mereka telah merugi sejak Juni 2023 dan tak sanggup menanggung beban operasional meski telah menyisihkan dana untuk menggaji staf serta membayar pemasok dan sewa. Tak hanya usaha kecil, restoran dan klub mewah juga tak luput dari krisis ini.
Private club 1880 di Robertson Quay yang dikenal eksklusif pun mengumumkan penutupan permanen karena gagal mengamankan dana investasi baru.
Sebelumnya, cabangnya di Hong Kong juga sudah tutup lebih dahulu pada Mei lalu. Situasi ini menjadi tanda peringatan serius bahwa daya tahan bisnis kuliner di Singapura sedang diuji habis-habisan.
Meski pemerintah mendorong inovasi dan efisiensi, lonjakan biaya membuat banyak pemilik usaha memilih untuk menyerah.
Gelombang penutupan ini bisa berdampak jangka panjang terhadap ekosistem F&B, termasuk kehilangan lapangan kerja, penurunan daya tarik kuliner lokal, dan hilangnya keunikan rasa dari berbagai konsep restoran independen yang sebelumnya tumbuh subur di negeri singa.
Jika tren ini berlanjut, dunia mungkin akan menyaksikan pergeseran besar dalam lanskap kuliner Singapura—dari kota kuliner internasional menjadi kota dengan wajah baru yang lebih homogen dan terkonsentrasi di tangan pemodal besar