Mengenang Jenderal Hoegeng: Sosok Polisi Jujur yang Jadi Teladan di Tengah Sorotan Publik pada Pelayanan Kepolisian
- Pixabay
VIVA, Banyumas – Akhir-akhir ini, kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kepolisian kerap diguncang oleh berbagai kasus yang menimbulkan ketidakpuasan. Dari laporan penanganan perkara yang dianggap berbelit hingga dugaan penyalahgunaan wewenang, suara kritis publik makin nyaring terdengar. Dalam situasi seperti ini, nama Jenderal Hoegeng kembali terngiang sebagai sosok polisi yang kejujurannya dikenang lintas generasi.
Polisi yang Tak Pernah Tergoda
Hoegeng Imam Santoso, atau lebih dikenal sebagai Jenderal Hoegeng, menjabat sebagai Kapolri pada 1968–1971. Ia disebut-sebut sebagai “polisi paling jujur di Indonesia.” Dalam setiap kisah yang dituturkan tentang dirinya, publik selalu disuguhi contoh keteguhan hati yang jarang ditemui: menolak suap, menolak fasilitas mewah, hingga menolak kompromi yang bisa melukai integritas institusi kepolisian.
Hidup Sederhana di Tengah Kekuasaan
Meski pernah menduduki jabatan tertinggi di kepolisian, Hoegeng tetap hidup sederhana. Rumah dinasnya nyaris kosong dari perabot mewah, ia terbiasa menyetir sendiri mobil dinasnya, bahkan tak segan antri di warung makan rakyat. Sikap ini membuat banyak orang kagum karena menunjukkan bahwa jabatan tinggi tidak mengubah pribadinya.
Kesederhanaan itu bukan sekadar gaya hidup, melainkan pernyataan moral: bahwa seorang polisi harus dekat dengan rakyat dan tidak berjarak dengan mereka yang dilayani. Dengan cara itu, Hoegeng membuktikan bahwa wibawa seorang aparat justru lahir dari kerendahan hati.
Berani Melawan Arus
Hoegeng juga dikenal berani mengambil sikap tegas dalam kasus besar, meski risikonya tinggi. Salah satu yang paling dikenang adalah ketegasannya menangani kasus penyelundupan mobil mewah yang melibatkan orang-orang berpengaruh. Sikap tanpa kompromi itu membuatnya dihormati, meskipun akhirnya juga mempercepat akhir masa jabatannya.
Warisan Keteladanan
Lebih dari setengah abad berlalu sejak masa kepemimpinannya, nama Hoegeng tetap menjadi simbol integritas. Banyak generasi muda yang bahkan tidak sempat hidup sezaman dengannya kini mengenal kisahnya melalui buku, cerita, hingga program-program edukasi. Sosok Hoegeng seakan menjadi pembanding ideal, sekaligus pengingat bahwa polisi seharusnya berdiri untuk hukum dan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.
Di tengah sorotan tajam publik terhadap institusi kepolisian saat ini, mengenang Jenderal Hoegeng bukan hanya nostalgia. Lebih dari itu, ia adalah cermin yang menuntun arah: bahwa kejujuran, keberanian, dan pengabdian tanpa pamrih masih mungkin ditegakkan. Harapan masyarakat jelas—agar teladan Hoegeng tidak berhenti sebagai cerita masa lalu, melainkan hidup kembali dalam sikap dan tindakan aparat di masa kini.