TNI vs Ferry Irwandi: Sengketa Hukum atau Ancaman Kebebasan Sipil
- instagram @irwandiferry
Kasus TNI vs Ferry Irwandi jadi sorotan. TNI menilai Ferry menyebar provokasi, sementara masyarakat sipil khawatir ini ancam kebebasan berekspresi di Indonesia
Viva, Banyumas - Kasus antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Ferry Irwandi, CEO Malaka Project, tengah menjadi sorotan publik. Persoalan ini bukan hanya menyangkut tuduhan hukum, tetapi juga menimbulkan perdebatan lebih luas terkait kebebasan sipil dan ruang demokrasi di Indonesia.
Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Freddy Ardianzah, menilai pernyataan Ferry di media sosial maupun wawancara publik berpotensi sebagai tindak pidana. Satgas Siber TNI menemukan dugaan fitnah, ujaran kebencian, provokasi, disinformasi, hingga penghasutan yang dianggap dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional.
Ada dua narasi utama yang dipermasalahkan TNI. Pertama, analisis Ferry atas video penangkapan personel TNI di Palembang. Dalam unggahannya, Ferry menambahkan frasa yang tidak terdapat pada rekaman asli sehingga dinilai menyesatkan.
Kedua, pernyataan Ferry tentang kondisi “darurat militer” di Indonesia. TNI menilai narasi ini sebagai bentuk provokasi karena tidak memiliki dasar faktual. Atas perbuatannya, Ferry dianggap melanggar sejumlah pasal dalam KUHP dan UU ITE, termasuk penyebaran berita bohong, penghinaan lembaga negara, serta penghasutan berbasis SARA.
Dikutip dari akun Instagram @voktis.id, Meski demikian, Wakil Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya, AKBP Fian Yunus, menegaskan bahwa TNI tidak bisa melaporkan pencemaran nama baik. Ia merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 105/PUU-XXII/2024 yang menyatakan hanya individu, bukan lembaga negara, yang berhak mengajukan laporan pencemaran nama.
Poin ini kemudian menjadi sorotan karena menimbulkan pertanyaan besar: apakah langkah TNI sah secara hukum, atau justru melampaui batas kewenangan? Kasus ini juga menuai kritik dari aktivis dan peneliti hak asasi manusia.