Putar Suara Burung pun Kena Royalti, Ini Penjelasan LMKN Soal Aturan Kontroversial

Ilustrasi Suara burung di restoran tetap kena aturan royalti musik
Sumber :
  • pexel @Stephen Niemeier

Viva, Banyumas - Polemik royalti musik kembali memanas setelah Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Dharma Oratmangun menegaskan bahwa suara burung maupun suara alam yang diputar di restoran, kafe, atau hotel tetap terikat aturan royalti. Pernyataan ini memicu diskusi hangat di kalangan pelaku usaha yang selama ini mencari cara agar terbebas dari kewajiban membayar royalti.

Batal Nobar Final AFF U23 di Alun Alun Cilacap! Ini Penjelasan Resminya

Menurut Dharma, hak cipta dan hak terkait tidak hanya berlaku untuk lagu atau musik, tetapi juga untuk rekaman suara apapun, termasuk suara burung atau suara alam. Hak tersebut dimiliki oleh produser fonogram, yaitu pihak yang pertama kali merekam suara tersebut.

Dengan demikian, meskipun pelaku usaha tidak memutar musik populer, namun jika menggunakan rekaman suara yang memiliki pemilik hak, tetap ada kewajiban membayar royalti.

Heboh! Bumbu Instan Indonesia Dapat Label Peringatan Kanker di California, Ini Penjelasannya

Dilansir dari Viva, Dharma menjelaskan, tidak ada kewajiban bagi pemilik restoran atau hotel untuk memutar musik. Namun jika mereka memilih memutar musik atau suara yang direkam, baik itu lagu Indonesia, lagu internasional, maupun rekaman alam, maka royalti harus dibayarkan sesuai ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Polemik ini mencuat setelah kasus Mie Gacoan yang menyeret pemiliknya, I Gusti Ayu Sasih Ira, menjadi tersangka dalam kasus pelanggaran hak cipta musik. Kasus tersebut membuat banyak pengusaha khawatir memutar musik di tempat usaha mereka.

Viral Ridwan Kamil Protes karena Delay Super Air Jet Wakili Penumpang, Ini Penjelasan Bandara Ngurah Rai

Beberapa bahkan memilih menggunakan kicauan burung atau suara hutan dari layanan streaming sebagai pengganti musik. Namun, langkah tersebut ternyata tidak otomatis membebaskan mereka dari kewajiban royalti.

LMKN mengungkapkan bahwa penggunaan rekaman suara untuk kepentingan komersial tetap harus melalui mekanisme pembayaran royalti, termasuk jika rekaman itu berasal dari luar negeri.

LMKN juga bekerja sama dengan lembaga sejenis di berbagai negara sehingga pembayaran dapat dilakukan melalui satu pintu.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, mengakui bahwa pemahaman pengusaha terkait aturan royalti memang belum merata.

Hal ini membuat banyak pelaku usaha kebingungan dan was-was, apalagi setelah muncul kasus hukum seperti yang dialami Mie Gacoan. LMKN pun mengimbau agar para pengusaha tidak ragu menggunakan musik atau rekaman suara, asalkan memenuhi kewajiban membayar royalti.

Dengan begitu, pelaku usaha dapat terhindar dari potensi masalah hukum di kemudian hari