Antara Rasa Bersalah dan Upaya Banding: Drama Hukum 6 Perempuan dalam Kasus Kekerasan Anak di Wonosegoro Boyolali
- pexel @cqf-avocat
Viva, Banyumas - Dalam kasus penganiayaan terhadap seorang bocah asal Desa Banyusri, Kecamatan Wonosegoro, Boyolali, perhatian publik kini tertuju pada enam terdakwa perempuan yang divonis masing-masing empat bulan pidana penjara. Vonis tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Boyolali setelah proses hukum yang menyita perhatian masyarakat.
2 dari 6 terdakwa perempuan, yakni Omi Martini dan Tri Watiningsih, memilih menempuh jalur hukum lanjutan dengan mengajukan banding. Langkah ini menandai babak baru dalam drama panjang yang tidak hanya menyisakan luka bagi korban kekerasan anak di Wonosegoro Boyolali, tetapi juga pergolakan batin bagi para pelaku.
Dilansir dari laman Instagram @boyolalikita, Para terdakwa perempuan selama ini menjalani status sebagai tahanan kota. Dalam sistem perhitungan hukum, masa penahanan kota memiliki nilai berbeda dengan tahanan rutan. Satu hari di rutan dianggap setara dengan lima hari di luar.
Dengan demikian, meski vonis tampak ringan, waktu tempuh hingga bebas masih cukup panjang. Keputusan ini menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat tentang sejauh mana rasa bersalah diakui oleh para terdakwa dan seberapa besar pertanggungjawaban hukum mereka terhadap perbuatannya.
Kisah para perempuan terdakwa ini menyiratkan kompleksitas hukum ketika pelaku bukan hanya pria, namun juga kaum ibu.
Vonis terhadap mereka menjadi simbol pertentangan antara rasa kemanusiaan dan ketegasan hukum. Sebab, dalam proses penyelidikan, keterlibatan keenamnya dalam aksi kekerasan secara bersama-sama sudah dianggap terbukti sah.
Peran mereka dalam kasus ini bukan hanya sebagai pelaku pasif, melainkan turut aktif dalam tindakan yang berdampak fisik dan psikologis terhadap anak di bawah umur. Sementara itu, 14 terdakwa lain dalam kasus ini juga telah divonis dengan hukuman bervariasi.
Mulai dari 4 bulan hingga 14 bulan, dengan sebagian besar pria langsung ditahan di rutan. Dalam empat berkas terpisah, kasus ini memperlihatkan bagaimana sistem peradilan pidana anak diuji oleh kenyataan pahit: korban yang masih di usia dini dan pelaku yang berasal dari lingkungan sosial terdekat. Proses banding yang diajukan dua terdakwa perempuan kini menjadi titik krusial:
apakah hukum akan memberi ruang bagi pengampunan, atau justru memperkuat pesan keadilan bahwa anak-anak harus dilindungi tanpa kompromi. Dalam situasi yang penuh tekanan ini, masyarakat Boyolali dan publik luas menanti kelanjutan proses hukum.
Tak hanya menuntut hukuman, tetapi juga kejelasan moral, perlindungan anak, dan penegakan keadilan yang menyentuh semua lapisan, tanpa terkecuali. Drama hukum ini mengajarkan satu hal penting: kekerasan terhadap anak bukan hanya melanggar hukum, tapi juga merobek nurani