Bahlil Sebut Tambang Nikel Raja Ampat Jauh dari Pulau Piaynemo, Benarkah?
- instagram @bahlillahadalia
Viva, Banyumas - Polemik soal keberadaan tambang nikel di Raja Ampat kembali menjadi sorotan publik. Kekhawatiran datang dari aktivis lingkungan dan sejumlah media yang menilai kegiatan tersebut dapat membahayakan keindahan Pulau Piaynemo, ikon wisata unggulan daerah tersebut.
Namun Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa tambang nikel di wilayah Raja Ampat itu berada jauh dari Pulau Piaynemo. Dalam konferensi pers di Jakarta, Bahlil menyatakan bahwa lokasi tambang nikel milik PT Gag Nikel berada sekitar 30 hingga 40 kilometer dari kawasan Pulau Piaynemo.
Ia menyebut bahwa informasi yang beredar harus dikaji ulang, sebab banyak yang keliru menggambarkan posisi tambang seolah berada dekat kawasan wisata.
Menurutnya, Raja Ampat memiliki bentang alam yang luas sehingga jarak antara lokasi industri dan destinasi wisata bisa cukup jauh.
Meski Bahlil menyebut letak tambang nikel tidak berdampak langsung karena jauh dari Pulau Piaynemo, warga setempat tetap khawatir terhadap efek jangka panjang terhadap ekosistem Raja Ampat.
Perubahan warna air laut dan potensi pencemaran menjadi sinyal bahwa aktivitas industri tambang bisa merambat ke kawasan pulau-pulau wisata.
Maka dari itu, sejumlah pihak mendesak agar ada transparansi dalam evaluasi dampak lingkungan proyek tersebut.
Dalam acara bincang media yang digelar di Kementerian ESDM, Kamis (5/6), Bahlil menegaskan bahwa tambang nikel di Pulau Gag tidak berdekatan dengan Piaynemo.
Menurutnya, jarak antara lokasi tambang dan pulau wisata itu mencapai 30 hingga 40 kilometer.
“Sekarang dengan kondisi seperti ini, kita harus cross-check. Karena di beberapa media yang saya baca, ada gambar yang diperlihatkan itu seperti Pulau Piaynemo,” jelas Bahlil yang dikutip dari tvonenews.
Ia juga menambahkan bahwa dirinya cukup sering mengunjungi Raja Ampat sehingga tahu kondisi wilayahnya secara langsung.
Meskipun pernyataan Bahlil menyiratkan bahwa aktivitas tambang tidak berdampak langsung pada kawasan wisata, kekhawatiran publik tetap menguat.
Sejumlah warganet, termasuk yang mengaku sebagai warga Pulau Gag, menyatakan bahwa aktivitas tambang telah mencemari lingkungan sekitar, seperti perubahan warna air laut dari biru menjadi cokelat pascahujan.
Hal ini dinilai dapat merusak ekosistem laut yang selama ini menjadi daya tarik utama pariwisata Raja Ampat.
Para pemerhati lingkungan dan organisasi seperti Greenpeace Indonesia meminta pemerintah untuk lebih transparan dalam menyampaikan data dan hasil pengawasan lingkungan di kawasan tersebut.
Meskipun jarak fisik tambang mungkin cukup jauh, dampak ekologisnya bisa menjangkau lebih luas dari yang terlihat di peta.
Mereka menilai, evaluasi menyeluruh harus dilakukan agar pembangunan ekonomi tidak mengorbankan keberlanjutan alam Raja Ampat yang telah diakui dunia.
Dengan terus berkembangnya isu ini, publik menunggu langkah konkret dari Kementerian ESDM dalam menjamin bahwa tambang tidak akan mencederai ikon wisata yang telah mengangkat nama Indonesia di mata dunia