Tarif Resmi Rp 275 Ribu, Tapi Buruh Dipaksa Bayar Rp 6 Juta untuk Sertifikasi K3, Wamenaker Terima Rp 3 M
- Instagram @official.kpk
Viva, Banyumas - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap praktik pemerasan dalam proses sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan. Ironisnya, tarif resmi sertifikasi yang hanya Rp 275 ribu berubah menjadi beban berat bagi pekerja karena dipatok hingga Rp 6 juta oleh oknum tertentu.
Sertifikasi K3 Wajib, Tapi Jadi Ladang Korupsi
Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan bahwa sertifikasi K3 merupakan kewajiban bagi tenaga kerja di bidang tertentu untuk meningkatkan keselamatan kerja sekaligus produktivitas. Namun, kewajiban ini justru dimanfaatkan sebagai ajang pemerasan.
“Modusnya memperlambat, mempersulit, bahkan tidak memproses sertifikasi jika tidak ada pembayaran tambahan,” ujar Setyo dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jumat (22/8/2025).
Pekerja atau buruh yang ingin memenuhi syarat resmi terpaksa mengeluarkan biaya hingga Rp 6 juta, dua kali lipat dari rata-rata upah minimum. Hal ini jelas merugikan pekerja yang seharusnya mendapat pelayanan publik mudah, cepat, dan terjangkau.
Aliran Uang Capai Rp 81 Miliar
Dari hasil penyelidikan, KPK menemukan selisih pembayaran sertifikasi K3 mencapai Rp 81 miliar. Uang tersebut mengalir ke berbagai pihak, termasuk pejabat Kemenaker. Dalam kurun waktu 2019–2024, misalnya, Irvian diduga menerima Rp 69 miliar yang digunakan untuk kebutuhan pribadi, mulai dari belanja, hiburan, hingga setoran tunai.
Sementara itu, aliran dana juga terdeteksi masuk ke Gerry senilai Rp 3 miliar, Subhan Rp 3,5 miliar, dan Anitasari Kusumawati Rp 5,5 miliar.
Tak berhenti di situ, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer alias Noel juga disebut menerima Rp 3 miliar, serta beberapa pejabat lain dengan jumlah bervariasi.
11 Tersangka Ditangkap KPK
KPK resmi menetapkan 11 orang tersangka dalam kasus ini, termasuk pejabat struktural di Kemenaker, pihak swasta, serta Wamenaker Immanuel Ebenezer. Selain menetapkan tersangka, penyidik juga menyita barang bukti berupa 15 mobil, 7 motor, uang tunai Rp 170 juta, dan USD 2.201.
Kasus ini menjadi momentum penting dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor ketenagakerjaan. KPK menegaskan bahwa pelayanan publik harus berpihak pada masyarakat, bukan merugikan buruh.
Harapan untuk Perbaikan Sistem
Dengan terbongkarnya kasus ini, diharapkan pemerintah dapat memperbaiki sistem sertifikasi K3 agar lebih transparan dan bebas dari pungutan liar. Pekerja sebagai tulang punggung produktivitas nasional seharusnya dilindungi, bukan justru diperas. KPK menegaskan, penanganan perkara ini harus menjadi pelajaran penting agar praktik serupa tidak terulang kembali di kemudian hari
Viva, Banyumas - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap praktik pemerasan dalam proses sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan. Ironisnya, tarif resmi sertifikasi yang hanya Rp 275 ribu berubah menjadi beban berat bagi pekerja karena dipatok hingga Rp 6 juta oleh oknum tertentu.
Sertifikasi K3 Wajib, Tapi Jadi Ladang Korupsi
Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan bahwa sertifikasi K3 merupakan kewajiban bagi tenaga kerja di bidang tertentu untuk meningkatkan keselamatan kerja sekaligus produktivitas. Namun, kewajiban ini justru dimanfaatkan sebagai ajang pemerasan.
“Modusnya memperlambat, mempersulit, bahkan tidak memproses sertifikasi jika tidak ada pembayaran tambahan,” ujar Setyo dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jumat (22/8/2025).
Pekerja atau buruh yang ingin memenuhi syarat resmi terpaksa mengeluarkan biaya hingga Rp 6 juta, dua kali lipat dari rata-rata upah minimum. Hal ini jelas merugikan pekerja yang seharusnya mendapat pelayanan publik mudah, cepat, dan terjangkau.
Aliran Uang Capai Rp 81 Miliar
Dari hasil penyelidikan, KPK menemukan selisih pembayaran sertifikasi K3 mencapai Rp 81 miliar. Uang tersebut mengalir ke berbagai pihak, termasuk pejabat Kemenaker. Dalam kurun waktu 2019–2024, misalnya, Irvian diduga menerima Rp 69 miliar yang digunakan untuk kebutuhan pribadi, mulai dari belanja, hiburan, hingga setoran tunai.
Sementara itu, aliran dana juga terdeteksi masuk ke Gerry senilai Rp 3 miliar, Subhan Rp 3,5 miliar, dan Anitasari Kusumawati Rp 5,5 miliar.
Tak berhenti di situ, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer alias Noel juga disebut menerima Rp 3 miliar, serta beberapa pejabat lain dengan jumlah bervariasi.
11 Tersangka Ditangkap KPK
KPK resmi menetapkan 11 orang tersangka dalam kasus ini, termasuk pejabat struktural di Kemenaker, pihak swasta, serta Wamenaker Immanuel Ebenezer. Selain menetapkan tersangka, penyidik juga menyita barang bukti berupa 15 mobil, 7 motor, uang tunai Rp 170 juta, dan USD 2.201.
Kasus ini menjadi momentum penting dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor ketenagakerjaan. KPK menegaskan bahwa pelayanan publik harus berpihak pada masyarakat, bukan merugikan buruh.
Harapan untuk Perbaikan Sistem
Dengan terbongkarnya kasus ini, diharapkan pemerintah dapat memperbaiki sistem sertifikasi K3 agar lebih transparan dan bebas dari pungutan liar. Pekerja sebagai tulang punggung produktivitas nasional seharusnya dilindungi, bukan justru diperas. KPK menegaskan, penanganan perkara ini harus menjadi pelajaran penting agar praktik serupa tidak terulang kembali di kemudian hari