Purbaya Heran! Dana Pemda Mengendap Rp 233 Triliun, Belanja Daerah Justru Seret
- instagram @menkeuri
Dana pemda Rp 233 triliun mengendap di bank, realisasi belanja daerah seret. Menkeu Purbaya siap evaluasi agar anggaran segera bergerak mendukung ekonomi lokal
Viva, Banyumas - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku heran dengan terus membengkaknya dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan.
Dilansir dari laman Menkeu RI, Hingga akhir Agustus 2025, jumlahnya mencapai Rp 233,11 triliun, meningkat Rp 40,54 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 192,57 triliun. Angka ini bahkan menjadi yang terbesar sejak 2021.
Padahal, di saat yang sama, realisasi belanja daerah masih tergolong lambat. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga 24 September 2025, belanja daerah baru mencapai Rp 656,40 triliun atau sekitar 46,86% dari total pagu.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas pengelolaan keuangan daerah. Purbaya menyampaikan bahwa pemerintah pusat akan segera melakukan evaluasi mendalam.
Ia menyoroti hambatan birokrasi yang sering kali menjadi alasan lambannya belanja anggaran di tingkat daerah.
“Ketika mereka punya Rp 200 triliun lebih uang yang mengendap di bank, kenapa tidak dipakai? Kalau memang benar-benar menganggur, dana itu bisa kita ambil alih agar lebih produktif,” tegasnya, Kamis (25/9/2025) di jakarta kepada awak media.
Menurutnya, dana daerah yang terlalu lama parkir di bank bisa menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian lokal.
Belanja pemerintah daerah seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor, mulai dari infrastruktur, pendidikan, hingga layanan kesehatan.
Jika dana tidak bergerak, maka potensi ekonomi daerah bisa terhambat dan pada akhirnya memicu ketidakpuasan masyarakat.
Purbaya juga menekankan pentingnya penyesuaian mekanisme transfer ke daerah (TKD). Selama ini, pencairan dana daerah kerap terhambat karena prosedur yang panjang dan berbelit.
Ke depan, Kementerian Keuangan berencana mempercepat proses tersebut agar dana bisa langsung dimanfaatkan pemda sejak awal tahun anggaran.
Meski demikian, ia memastikan langkah pengawasan ketat ini tidak akan membuat daerah kekurangan anggaran. Pemerintah pusat tetap mendukung otonomi fiskal, tetapi penggunaan dana harus lebih tepat sasaran dan tidak menumpuk tanpa manfaat.
“Kita monitor agar tidak berulang. Jika dibiarkan, ekonomi daerah terganggu dan gejolak sosial bisa muncul,” ujar Purbaya.
Ekonom menilai, masalah dana mengendap ini sebenarnya sudah lama terjadi. Beberapa faktor penyebabnya antara lain keterbatasan kapasitas birokrasi daerah, perencanaan anggaran yang kurang matang, hingga lemahnya koordinasi antar instansi.
Oleh karena itu, evaluasi yang dilakukan pemerintah pusat diharapkan mampu mendorong percepatan realisasi belanja serta menekan dana menganggur di bank.
Dengan evaluasi menyeluruh dan dorongan kebijakan yang lebih efisien, diharapkan dana Rp 233 triliun tersebut tidak lagi menjadi tumpukan pasif, melainkan dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah