APBN 2025 Defisit Rp31,2 Triliun, Tapi Korupsi BUMN dan Utang PLN Rp 156 M Per Hari Lebih Mengerikan
- instagram @smindrawati
Viva, Banyumas - Kementerian Keuangan melalui Menteri Sri Mulyani mengungkapkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun. Defisit ini disebut terjadi karena penurunan penerimaan pajak negara.
Namun, pernyataan tersebut mengundang kritik dari berbagai kalangan. Banyak pihak menilai bahwa defisit APBN seharusnya tidak terjadi apabila penerimaan negara dari sektor lain, seperti bea cukai dan pengelolaan BUMN, berjalan optimal.
Utang Harian PLN Capai Rp156 Miliar
Salah satu sorotan utama datang dari utang harian PLN (Perusahaan Listrik Negara) yang dikabarkan mencapai Rp156 miliar per hari. Angka ini jika dikalkulasikan selama setahun dapat menyentuh angka puluhan triliun rupiah.
Publik mempertanyakan bagaimana pengelolaan keuangan di tubuh BUMN energi tersebut, mengingat PLN memegang peran penting dalam penyediaan listrik nasional.
PT Antam Rugikan Negara Rp5,9 Kuadriliun
Tak hanya itu, kasus skandal logam mulia juga membuat geger publik. PT Antam diduga merugikan negara hingga Rp5,9 kuadriliun akibat dugaan manipulasi produksi dan distribusi emas batangan. Jumlah tersebut menjadi salah satu kasus kerugian terbesar dalam sejarah keuangan negara.
Korupsi Pertamina Rp193,7 Triliun
Sementara itu, kasus korupsi di tubuh Pertamina juga menyeruak ke permukaan. Kerugian yang ditimbulkan disebut-sebut mencapai Rp193,7 triliun, angka yang tentu jauh melebihi angka defisit APBN yang disampaikan Sri Mulyani.
Pengawasan Fiskal Dipertanyakan
Publik mempertanyakan efektivitas pengawasan fiskal oleh pemerintah. Jika kerugian akibat korupsi di BUMN bisa mencapai ratusan hingga ribuan triliun, maka defisit Rp31,2 triliun terkesan tidak proporsional jika dijadikan sorotan utama tanpa memperbaiki sumber kebocoran besar lainnya.
Optimisme Penerimaan Pajak
Meski demikian, Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun tetap optimis bahwa penerimaan pajak akan meningkat pada bulan Maret dan April, bertepatan dengan pelaporan SPT wajib pajak pribadi dan korporasi.
Namun, ia juga mengkritik sistem Coretax yang belum berfungsi optimal, dan menyebut bahwa penurunan penerimaan pajak bukan akibat ekonomi yang lesu, melainkan karena faktor teknis