Ketegangan Memuncak: 5 Alasan di Balik Konflik Thailand–Kamboja yang Kembali Membara

Ilustrasi eskalasi militer di perbatasan thailand dan kamboja
Sumber :
  • Pixabay

VIVA, Banyumas – Akhir-akhir ini, masyarakat regional Asia Tenggara dikejutkan oleh eskalasi militer yang kembali pecah antara Thailand dan Kamboja sejak 24 Juli 2025. Situasi ini memunculkan kembali kekhawatiran lama tentang konflik laten yang tak kunjung selesai.

Kehebatan Kerajaan Khmer: Ketika Kamboja Pernah Menguasai Thailand dan Menjadi Kekaisaran Besar Asia Tenggara

Lalu, apa sebenarnya yang menjadi akar masalah dari konflik berkepanjangan ini? Berikut lima alasan utama di balik ketegangan antara Thailand dan Kamboja:

1. Sengketa Candi Preah Vihear dan Wilayah Sekitarnya

Eks PM Kamboja Hun Sen Bantah Kabur ke China: Saya di Ruang Komando, Siap Perang Lawan Thailand!

Salah satu pemicu utama konflik adalah klaim atas Candi Preah Vihear, sebuah situs keagamaan Hindu kuno yang berada di perbatasan. Pada 1962, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa candi ini merupakan bagian dari Kamboja. Namun, wilayah di sekitar candi—terutama bagian tebing dan jalan akses—masih menjadi sengketa hingga hari ini.

Ketegangan meningkat tajam pada 2008 saat Kamboja mendaftarkan candi ini sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Thailand menganggap hal ini sebagai pelanggaran terhadap status quo dan memicu bentrokan yang berlangsung hingga 2011. Kini, isu serupa kembali muncul ke permukaan.

Link Nonton Timnas Indonesia U23 vs Thailand: Reuni Semifinal Piala AFF 2025 Hari Ini Penentuan Lolos!

2. Warisan Kolonial dan Batas Wilayah yang Tidak Jelas

Konflik ini juga berakar dari warisan penjajahan Prancis di kawasan Indochina. Saat Kamboja menjadi protektorat Prancis, batas wilayah ditentukan secara sepihak berdasarkan peta-peta kolonial. Pada 1907, Thailand (dulu Siam) menyerahkan beberapa wilayah kepada Perancis—yang kemudian menjadi bagian dari Kamboja.

Thailand kemudian menyatakan bahwa beberapa peta kolonial tidak akurat dan mendasarkan klaimnya pada dokumen sejarah lainnya. Ketidaksesuaian ini menjadi akar dari perdebatan hukum dan klaim ulang yang terus berulang hingga sekarang.

3. Persaingan Sejarah Kerajaan Kuno

Thailand dan Kamboja memiliki sejarah panjang saling menaklukkan, terutama saat Kerajaan Khmer melemah dan wilayahnya dikuasai oleh Kerajaan Ayutthaya (Thailand). Kamboja pernah menjadi negara penyangga yang diperebutkan antara Thailand dan Vietnam.

Sejarah ini menimbulkan narasi nasionalisme sejarah yang kuat di kedua negara. Kamboja merasa menjadi korban penjajahan regional, sementara Thailand merasa wilayah tertentu adalah bagian dari kejayaan masa lalunya. Narasi semacam ini menyuburkan sentimen nasionalistik.

4. Politik Domestik dan Isu Nasionalisme

Ketegangan perbatasan sering kali dipengaruhi oleh politik dalam negeri. Saat tekanan politik meningkat, elit pemerintahan kadang menjadikan isu perbatasan sebagai alat untuk menarik simpati publik dan mengalihkan perhatian dari masalah internal.

Hal ini pernah terlihat saat pergantian pemerintahan di Thailand atau ketika terjadi krisis ekonomi di Kamboja. Dengan membangkitkan semangat patriotisme, konflik dengan negara tetangga menjadi "pemersatu" instan—meski hanya sementara.

5. Sentimen Publik dan Propaganda Media

Media di kedua negara sering memainkan peran besar dalam membentuk persepsi publik. Pemberitaan sepihak dan kadang provokatif memperkeruh suasana. Misalnya, kerusuhan di Phnom Penh tahun 2003 dipicu oleh rumor bahwa artis Thailand mengklaim Angkor Wat sebagai milik Thailand—berita yang kemudian terbukti salah.

Isu-isu seperti ini dapat dengan cepat menyulut kemarahan nasional, terutama di era media sosial. Ketika ketegangan militer muncul, opini publik bisa menjadi bahan bakar yang memperbesar konflik, bukannya meredamnya.

Konflik antara Thailand dan Kamboja bukanlah hal baru, namun eskalasi terbaru pada Juli 2025 menunjukkan bahwa luka sejarah dan batas wilayah yang belum tuntas bisa kembali terbuka kapan saja. Dengan lima alasan utama di atas—dari sengketa situs bersejarah hingga kepentingan politik domestik—kawasan ini tampaknya membutuhkan pendekatan baru yang lebih jujur, adil, dan visioner agar perdamaian dapat benar-benar berakar.