Renang vs Aturan: Juara Umum Popda Jateng 2025 Dikeluarkan dari Sekolah karena Baju?

Ilustrasi Siswi MAN 1 Tegal berlaga di ajang Popda renang
Sumber :
  • pexel @emily-rose

Viva, Banyumas - Seorang siswi MAN 1 Tegal mencetak prestasi luar biasa dengan menyabet Juara Umum dalam ajang POPDA Jateng 2025 cabang renang. Namun, kegembiraan itu sirna ketika sekolah menjatuhkan sanksi berat.

Putus Asa Ingin Sekolah, Gadis Cirebon Nekat Minum Pembersih Lantai

Sang atlet justru dikeluarkan dari sekolah karena baju renang yang ia kenakan dianggap tidak sesuai dengan aturan madrasah. Keputusan pihak sekolah mengejutkan banyak pihak, karena alih-alih memberikan penghargaan atas prestasi sebagai Juara Umum POPDA Jateng, mereka fokus pada dugaan pelanggaran aturan berpakaian.

Menurut keterangan, siswi tersebut menggunakan pakaian renang umum demi performa maksimal. Sayangnya, hal itu dianggap cukup untuk menjatuhkan sanksi dikeluarkan dari sekolah karena baju yang tak sesuai aturan. Kasus ini mengundang perdebatan luas di masyarakat.

Bermain Game Tanpa Kontrol: Ancaman Nyata bagi Pendidikan Anak

Banyak yang mempertanyakan apakah tidak ada ruang toleransi bagi seorang Juara Umum POPDA Jateng yang mengharumkan nama sekolah.

Apakah etis bila seseorang dikeluarkan dari sekolah karena baju, tanpa mempertimbangkan konteks kompetisi profesional dan semangat berprestasi yang ditunjukkan siswi tersebut? Kisah ini mencuat dan viral di media sosial setelah ayah sang siswi menuliskan surat terbuka yang menggugah banyak pihak.

Tantangan Pendidikan di Era Digital: Ketimpangan Ekonomi, Kekerasan di Sekolah, dan Ketidaksiapan Pembelajaran Online

Ia menjelaskan bahwa sang anak memilih mengenakan pakaian renang standar nasional yang lebih fleksibel dibanding busana tertutup yang diwajibkan oleh pihak sekolah.

Pilihan ini semata-mata untuk mendukung performa maksimal di medan lomba yang didominasi atlet profesional dari berbagai klub.

Namun, pihak sekolah memandang pilihan tersebut sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap aturan berpakaian di lingkungan madrasah.

Setelah proses klarifikasi yang berlangsung cukup panjang namun tak menghasilkan kesepahaman, keputusan tegas dijatuhkan: siswi tersebut harus meninggalkan bangku sekolahnya.

Dilansir dari akun X @__priut, Ayahnya menulis dengan pedih, “Anak saya bukan kriminal.

Ia ingin berprestasi, dan ia berhasil. Tapi mengapa sekolah lebih memilih menghukumnya daripada membimbing?” Surat ini pun menuai simpati dan mengundang debat luas di jagat maya.

Banyak yang mempertanyakan, apakah regulasi berpakaian di lembaga pendidikan keagamaan harus menutup mata terhadap konteks dan prestasi siswa? Kasus ini membuka ruang diskusi lebih dalam mengenai fleksibilitas aturan di dunia pendidikan, khususnya saat bersinggungan dengan bakat dan potensi siswa.

Apakah sekolah masih menjadi tempat yang mendukung tumbuhnya mimpi, atau justru menghambatnya karena kaku pada formalitas?