Donald Trump Perintahkan Larangan Masuk ke AS untuk 12 Negara, Siapa Saja yang Jadi Korban?
- instagram @realdonaldtrump
Viva, Banyumas - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali memicu kontroversi usai mengeluarkan kebijakan larang masuk ke negaranya bagi warga dari 12 negara. Langkah ini disebut-sebut sebagai upaya untuk meningkatkan keamanan nasional, namun banyak pihak mempertanyakan urgensi dan dampak kebijakan tersebut.
Siapa saja yang terdampak langsung tentu menjadi sorotan, terutama warga negara-negara berkembang yang ingin menempuh pendidikan atau bekerja di AS. Kebijakan Donald Trump tersebut menetapkan larang masuk secara penuh untuk warga dari 12 negara, termasuk Afghanistan, Somalia, dan Iran.
Kebijakan ini diklaim didasari data intelijen yang menunjukkan kurangnya kerja sama keamanan, lemahnya sistem verifikasi identitas, serta tingginya angka pelanggaran visa dari negara-negara tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa saja yang benar-benar dianggap ancaman dan apakah langkah ini proporsional? Selain itu, larangan masuk yang diterapkan Donald Trump terhadap warga dari 12 negara juga dinilai oleh sebagian kalangan sebagai bentuk diskriminasi terselubung.
Aktivis dan politisi mempertanyakan alasan di balik kebijakan tersebut dan menilai bahwa pemerintah perlu menjelaskan dengan lebih transparan siapa saja yang jadi sasaran utama dari kebijakan larang masuk ini, serta dampaknya terhadap hubungan internasional dan kehidupan warga imigran.
Dilansir dari Reuters, Dalam daftar resmi yang diumumkan, Trump melarang warga dari Afghanistan, Myanmar, Chad, Republik Kongo, Guinea Khatulistiwa, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman untuk masuk ke Amerika Serikat.
Selain itu, 7 negara lainnya dikenakan pembatasan parsial, yaitu Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela.
Larangan masuk dari Trump ini diklaim sebagai tindakan pencegahan terhadap potensi masuknya teroris asing.
Menurut keterangan resmi, negara-negara tersebut dinilai tidak memiliki sistem pencatatan kriminal yang baik, tingkat pelanggaran visa tinggi, serta kurangnya kerja sama keamanan dengan otoritas AS.
Namun, larangan ini menimbulkan kekhawatiran luas, terutama bagi warga dari negara-negara tersebut yang sedang menempuh pendidikan, bekerja, atau hendak berkumpul dengan keluarga di AS.
Kebijakan Trump ini dinilai diskriminatif oleh beberapa pihak karena berpotensi memutus akses ke pendidikan dan pekerjaan bagi ratusan ribu orang.
Anggota parlemen dari Partai Demokrat, termasuk Ro Khana, mengecam kebijakan tersebut dan menyebutnya “kejam serta inkonstitusional”.
Kritik juga mengalir dari komunitas internasional yang menilai larangan ini sebagai bentuk pengucilan terhadap negara-negara berkembang.
Ini bukan kali pertama Trump memberlakukan travel ban. Kebijakan serupa juga sempat diterapkan pada masa jabatan sebelumnya, yang memicu protes besar-besaran dan gugatan hukum.
Kini, banyak pihak mempertanyakan apakah larangan ini murni demi keamanan atau bagian dari strategi politik menjelang pemilu.
Kebijakan Trump ini jelas akan membawa dampak jangka panjang, baik bagi hubungan luar negeri AS maupun citra negara tersebut di mata dunia