Polemik 4 Pulau Aceh Sumut Makin Panas, JK Ungkap Fakta Tersembunyi soal MoU Helsinki dan UU Pembentukan Aceh 1956

JK ungkap fakta sejarah 4 pulau sengketa Aceh Sumut
Sumber :
  • instagram @jusufkalla

Viva, Banyumas - Polemik 4 Pulau Aceh-Sumur kembali memanas dan menarik perhatian nasional. Sengketa batas wilayah ini semakin mencuat setelah JK (Jusuf Kalla), mantan Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, turut angkat bicara.

Blanko Habis, Janda di Cilacap Gagal Klaim Asuransi Suami yang Telah Wafat

Ia menyampaikan fakta penting yang merujuk pada sejarah panjang pembentukan wilayah Aceh, termasuk keberadaan Undang Undang Lama yang dijadikan dasar hukum dalam menentukan batas wilayah sejak awal.

Dalam pernyataannya, JK menegaskan bahwa fakta terkait Polemik 4 Pulau Aceh-Sumur tidak bisa dilepaskan dari kesepakatan MoU Helsinki yang ditandatangani pada 2005 antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Lebih Tinggi dari GWK, Monumen Reog Ponorogo Butuh Rp 88,8 Miliar Lagi Belum Selesai Sejak 2023, Duit Darimana?

Menurutnya, isi MoU itu secara eksplisit mengacu pada Undang Undang Lama, yakni UU Nomor 24 Tahun 1956, yang menetapkan batas provinsi Aceh sesuai kondisi per 1 Juli 1956.

JK juga menyebut bahwa dalam konteks Polemik 4 Pulau Aceh-Sumur, posisi Aceh dikuatkan oleh fakta bahwa masyarakat di pulau-pulau tersebut selama ini berurusan administrasi dan perpajakan dengan Pemerintah Aceh.

Roti Go! Sejak 1898: Roti Legendaris yang Menyeberangi Generasi di Purwokerto

Berdasarkan MoU Helsinki dan Undang Undang Lama tersebut, JK mengingatkan agar penyelesaian konflik wilayah ini dilakukan secara arif dan tidak bertentangan dengan sejarah serta hukum yang telah disepakati bersama.

Dalam pernyataan di Jakarta, Jumat (13/6/2025), JK menjelaskan bahwa secara historis, Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek merupakan bagian dari Aceh Singkil.

Ia menegaskan bahwa dasar klaim tersebut merujuk pada MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam perjanjian itu, batas wilayah Aceh mengacu pada UU No. 24 Tahun 1956 yang sudah mengatur pembentukan Provinsi Aceh dan perubahan wilayah Sumatera Utara.

“Banyak yang lupa bahwa perbatasan Aceh berdasarkan 1 Juli 1956. Itu disebut jelas dalam pasal MoU Helsinki,” ujar JK yang dikutip dari laman tvonenews pada 14 Juni 2025.

Polemik pulau antara Aceh-Sumut bukan hanya persoalan geografis, tetapi lebih dalam menyangkut sejarah dan legalitas hukum negara.

Menurut JK, fakta tersebut tidak bisa diabaikan karena menyangkut kesepakatan nasional yang sudah berlangsung lama dan dituangkan dalam bentuk undang-undang. JK juga mengkritisi wacana perubahan status wilayah dengan keputusan menteri.

Ia menekankan bahwa Undang-Undang tidak bisa diubah hanya melalui keputusan menteri dalam negeri (kepmen). Jika hendak mengubah batas wilayah, maka harus dilakukan lewat revisi undang-undang di DPR, bukan sekadar evaluasi administratif.

Menariknya, JK juga menyebut bahwa masyarakat di empat pulau yang diperebutkan itu selama ini membayar pajak ke Pemerintah Provinsi Aceh, bukan ke Sumatera Utara. Hal ini memperkuat posisi Aceh dalam klaimnya.

Polemik empat pulau antara Aceh dan Sumut kini tak hanya menjadi perdebatan lokal, tapi isu nasional yang menyentuh ranah hukum, sejarah, dan perjanjian damai. JK berharap pemerintah dapat menyelesaikannya secara bijak dan tidak memicu gesekan baru.

JK menegaskan Masalah ini sensitif dan harus kembali ke dasar yang sudah disepakati bersama dalam MoU Helsinki