Dibalik Penutupan Pabrik Semen Rembang: Utang Triliunan dan Perlawanan Tak Terbendung
- pexel @Robert So
Viva, Banyumas - Dibalik penutupan Pabrik Semen Rembang yang resmi sejak 1 Juni 2025, tersimpan kisah panjang penuh kontroversi dan perjuangan warga. Pabrik ini menghadapi berbagai tantangan sejak awal, termasuk perlawanan tak terbendung dari petani Kendeng yang menolak pembangunan tersebut.
Penutupan pabrik ini bukan hanya soal penghentian operasi biasa, melainkan juga dampak dari utang triliunan yang membebani dan membuat keberlangsungan pabrik semakin sulit. Kondisi finansial yang berat serta tekanan politik menjadi faktor penting dalam keputusan tersebut. Dibalik semua itu, perlawanan tak terbendung petani Kendeng yang gigih terus menjadi sorotan utama dalam cerita Pabrik Semen Rembang.
Penutupan ini menandai kemenangan masyarakat dalam menghadapi proyek besar yang selama ini penuh kontroversi dan masalah.
Setelah lebih dari satu dekade penuh kontroversi, Pabrik Semen Indonesia di Rembang resmi berhenti beroperasi sejak 1 Juni 2025.
Penutupan ini menjadi babak baru dalam perjalanan panjang yang penuh perlawanan dan spekulasi. Di balik keputusan ini, terdapat fakta pelik soal utang triliunan dan tekanan dari perjuangan petani Kendeng yang terus menggelora.
Pabrik yang berdiri pada era awal pemerintahan Presiden Joko Widodo ini ternyata mengalami masalah sejak awal pendirian. J
Jurnalis sekaligus pembuat film dokumenter, Dandhy Dwi Laksono, yang sejak awal mengawal isu ini, mengungkap bahwa perlawanan petani Kendeng membuat pengambilan bahan baku jadi sangat sulit.
“Sebelas tahun lalu saat bikin film ini, data sudah menunjukkan pabrik ini tak akan lama,” ujar Dandhy Dwi Laksono dalam pernyataannya di media sosial X.
Dikutip dari akun Instagram @viralrembang, Dandhy juga menyoroti tekanan bisnis dan politik yang memaksa pembangunan pabrik tersebut tetap berlanjut, meski pasar semen nasional saat itu tengah mengalami kelebihan pasokan hingga 10 juta ton per tahun.
“Proyek ini dipaksakan karena adanya utang Rp 4,4 triliun dari Mandiri dan BNI, dan pemerintah tak ingin kehilangan muka,” kata Dandhy.
Kondisi ini memperlihatkan bagaimana utang besar menjadi salah satu faktor utama yang membuat pabrik terus berjalan meski menghadapi berbagai rintangan.
Selain itu, skandal hukum turut mewarnai perjalanan pabrik ini. Meskipun petani memenangkan kasus hingga tingkat Mahkamah Agung, pembangunan tetap dilanjutkan melalui izin baru yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Tengah kala itu, Ganjar Pranowo.
Dandhy menyebut bahwa perubahan nama dari Semen Gresik menjadi Semen Indonesia menjadi celah untuk mengeluarkan izin baru tersebut.
Tekanan politik dan kriminalisasi juga mewarnai perlawanan petani, bahkan melibatkan tokoh nasional sebagai komisaris perusahaan.
Penutupan pabrik ini menjadi penanda penting bahwa perlawanan warga Kendeng tak bisa diabaikan lagi.
Di balik utang triliunan dan skandal hukum, kisah ini mengingatkan bahwa kekuatan rakyat mampu mengubah arah sejarah pembangunan