Heboh! Guru Madin di Demak Dituntut Wali Murid Rp 25 Juta Hanya Karena Menegur Murid

Guru madin dituntut Rp 25 juta, netizen ramai bersuara
Sumber :
  • Tiktok @pikhin4

Viva, Banyumas - Kasus yang melibatkan seorang guru madrasah diniyah (madin) di Desa Ngampel, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, mendadak menjadi perhatian publik setelah viral di media sosial. Guru tersebut dikabarkan dituntut membayar ganti rugi sebesar Rp 25 juta oleh wali murid karena diduga menampar anak didiknya saat proses belajar mengajar.

Peristiwa bermula ketika suasana kelas berlangsung cukup ramai. Seorang murid bercanda berlebihan hingga terjadi lempar-lemparan sandal. Nahasnya, sandal yang dilempar justru mengenai peci guru tersebut.

Merasa tidak dihormati, sang guru memberi teguran keras, yang kemudian ditafsirkan wali murid sebagai tindakan kekerasan. Alih-alih menyelesaikan secara kekeluargaan, orang tua murid memilih menuntut sang guru secara tertulis dan menuntut ganti rugi senilai Rp 25 juta.

Surat pernyataan yang ditandatangani kedua belah pihak menyebutkan nominal tersebut. Dilansir dari laman Instagram @rumpi_gosip, Tak mampu memenuhi seluruh tuntutan sekaligus, guru madin itu terpaksa menjual sepeda motor miliknya demi menyanggupi pembayaran sebesar Rp 15 juta.

Sementara sisanya, sebesar Rp 10 juta, masih belum terpenuhi. Kabar ini langsung menuai reaksi luas dari warganet. Banyak yang menyayangkan tindakan wali murid yang dianggap tidak proporsional dan justru melemahkan posisi guru sebagai pendidik.

“Apakah kita sudah kehilangan rasa hormat terhadap profesi guru?” tulis salah satu akun di media sosial.

“Guru bukan malaikat, tapi niat mereka mendidik, bukan mencelakai. Ini pukulan untuk dunia pendidikan,” tambah yang lain.

Hingga kini belum ada laporan resmi dari aparat penegak hukum. Namun kasus ini menjadi refleksi bersama tentang krisis penghormatan terhadap profesi guru, khususnya di lingkungan pendidikan nonformal seperti madrasah diniyah.

Banyak kalangan menilai bahwa jika tindakan guru dianggap melampaui batas, seharusnya penyelesaiannya dilakukan secara edukatif dan kekeluargaan, bukan dengan tuntutan finansial yang

membebani dan mempermalukan pendidik. Aktivis pendidikan pun turut bersuara. Mereka meminta pemerintah daerah maupun kementerian terkait memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi guru, khususnya yang mengabdi di lembaga pendidikan swadaya masyarakat.

Kasus ini menjadi sorotan karena menggambarkan betapa rentannya posisi guru saat menghadapi tekanan dari wali murid. Dalam upayanya menegakkan disiplin, guru bisa terjebak dalam persepsi kekerasan yang berujung pada tuntutan yang memberatkan.

Semoga peristiwa ini menjadi bahan introspeksi semua pihak, agar dunia pendidikan tidak kehilangan nilai-nilai dasarnya: membimbing dengan hormat dan dihormati

Viva, Banyumas - Kasus yang melibatkan seorang guru madrasah diniyah (madin) di Desa Ngampel, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, mendadak menjadi perhatian publik setelah viral di media sosial. Guru tersebut dikabarkan dituntut membayar ganti rugi sebesar Rp 25 juta oleh wali murid karena diduga menampar anak didiknya saat proses belajar mengajar.

Peristiwa bermula ketika suasana kelas berlangsung cukup ramai. Seorang murid bercanda berlebihan hingga terjadi lempar-lemparan sandal. Nahasnya, sandal yang dilempar justru mengenai peci guru tersebut.

Merasa tidak dihormati, sang guru memberi teguran keras, yang kemudian ditafsirkan wali murid sebagai tindakan kekerasan. Alih-alih menyelesaikan secara kekeluargaan, orang tua murid memilih menuntut sang guru secara tertulis dan menuntut ganti rugi senilai Rp 25 juta.

Surat pernyataan yang ditandatangani kedua belah pihak menyebutkan nominal tersebut. Dilansir dari laman Instagram @rumpi_gosip, Tak mampu memenuhi seluruh tuntutan sekaligus, guru madin itu terpaksa menjual sepeda motor miliknya demi menyanggupi pembayaran sebesar Rp 15 juta.

Sementara sisanya, sebesar Rp 10 juta, masih belum terpenuhi. Kabar ini langsung menuai reaksi luas dari warganet. Banyak yang menyayangkan tindakan wali murid yang dianggap tidak proporsional dan justru melemahkan posisi guru sebagai pendidik.

“Apakah kita sudah kehilangan rasa hormat terhadap profesi guru?” tulis salah satu akun di media sosial.

“Guru bukan malaikat, tapi niat mereka mendidik, bukan mencelakai. Ini pukulan untuk dunia pendidikan,” tambah yang lain.

Hingga kini belum ada laporan resmi dari aparat penegak hukum. Namun kasus ini menjadi refleksi bersama tentang krisis penghormatan terhadap profesi guru, khususnya di lingkungan pendidikan nonformal seperti madrasah diniyah.

Banyak kalangan menilai bahwa jika tindakan guru dianggap melampaui batas, seharusnya penyelesaiannya dilakukan secara edukatif dan kekeluargaan, bukan dengan tuntutan finansial yang

membebani dan mempermalukan pendidik. Aktivis pendidikan pun turut bersuara. Mereka meminta pemerintah daerah maupun kementerian terkait memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi guru, khususnya yang mengabdi di lembaga pendidikan swadaya masyarakat.

Kasus ini menjadi sorotan karena menggambarkan betapa rentannya posisi guru saat menghadapi tekanan dari wali murid. Dalam upayanya menegakkan disiplin, guru bisa terjebak dalam persepsi kekerasan yang berujung pada tuntutan yang memberatkan.

Semoga peristiwa ini menjadi bahan introspeksi semua pihak, agar dunia pendidikan tidak kehilangan nilai-nilai dasarnya: membimbing dengan hormat dan dihormati