Ahli Pangan Unej Beberkan Titik Kritis Penyebab Keracunan di Program Makan Bergizi Gratis

Dr. Nurhayati, Ahli Pangan dari Unej
Sumber :
  • Antara

VIVA, Banyumas – Kasus keracunan makanan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai daerah, termasuk Jember, menimbulkan keprihatinan masyarakat.

Daftar Petinggi BGN Didominasi Eks Militer, Program Makan Bergizi Gratis Tanpa Ahli Gizi

Melansir dari ANTARA, Ahli pangan Universitas Jember (Unej) Dr. Nurhayati memaparkan sejumlah faktor penyebab dan titik kritis yang wajib diwaspadai agar insiden serupa tidak terulang.

Ahli pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (Unej) Dr. Nurhayati menyoroti maraknya kasus keracunan makanan siap saji dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di beberapa wilayah, termasuk Kabupaten Jember.

Kisruh Jember Memanas! Wabup Diduga Laporkan Bupati ke KPK soal Tata Kelola

Menurutnya, penting menelusuri apa, kenapa, dan bagaimana proses terjadinya keracunan untuk menemukan titik kritis yang memicu masalah ini.

Nurhayati menjelaskan, keracunan pangan bisa dipicu oleh paparan bahan kimia seperti residu pestisida atau toksin mikroba.

APBN 2026 Disahkan, Menkeu Purbaya Bocorkan Alokasi Jumbo Rp 335 Triliun untuk Program MBG

Pangan segar yang tidak dicuci bersih dan proses memasak yang tidak mencapai suhu aman menjadi pintu masuk kontaminasi. “Jika proses pemanasan kurang, mikroba patogen dapat berkembang biak dan menghasilkan racun berbahaya seperti enterotoksin atau gas disulfide (H₂S),” terangnya.

Gas H₂S sendiri memiliki bau khas telur busuk dan dapat memicu gejala serius mulai pusing, mual, hingga kerusakan paru-paru, bahkan kematian.

Beberapa bakteri patogen yang kerap menjadi penyebab di antaranya Salmonella spp., Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, dan Listeria monocytogenes.

Ia menambahkan, kebersihan alat dan bahan menjadi kunci. Peralatan yang tidak dicuci dengan baik berisiko menjadi sumber kontaminasi bakteri, begitu pula proses memasak yang tidak matang sempurna, khususnya pada pangan tinggi protein seperti daging dan ikan.

Penyimpanan juga menjadi sorotan. Makanan yang dibiarkan pada suhu ruang 5–60°C masuk “zona bahaya” karena mikroba berkembang biak pesat di rentang tersebut. “Kurang pendinginan untuk makanan dingin atau kurang penghangatan untuk makanan panas sama-sama berisiko,” jelasnya.

Penyajian terbuka terlalu lama, kontak tangan yang tidak higienis, serta penggunaan peralatan seperti stainless steel yang menghantarkan panas turut meningkatkan peluang mikroba tumbuh cepat.

Dalam lima jam saja, jumlah mikroba dapat melampaui 10 ribu sel, padahal hanya sekitar 3 ribu sel patogen sudah cukup untuk menimbulkan keracunan.

Nurhayati menegaskan, kebersihan penyaji—mulai dari mencuci tangan, penggunaan sarung tangan, hingga penutup kepala—merupakan langkah wajib. “Kelalaian di satu titik kritis saja dapat memicu keracunan dan penyakit bawaan pangan seperti diare atau tipus,” ujarnya.

Kasus terbaru menimpa belasan siswa SDN 05 Sidomekar, Kabupaten Jember, yang diduga keracunan usai menyantap menu MBG pada Jumat (26/9).

Nurhayati berharap seluruh pihak yang terlibat dalam penyediaan makanan MBG, mulai dari pemilihan bahan, proses masak, penyimpanan, hingga penyajian, benar-benar menjaga higienitas demi mencegah insiden serupa.

Kasus keracunan dalam program makan gratis menjadi alarm penting bagi seluruh penyelenggara layanan pangan.

Dengan pengawasan ketat pada setiap titik kritis—mulai dari bahan baku, proses memasak, hingga penyajian—harapan untuk menghadirkan program gizi yang aman dan menyehatkan bagi siswa dapat terwujud tanpa menimbulkan ancaman kesehatan.