Pedagang Pasar Wage Cilacap Keluhkan Biaya Retribusi Hingga Kondisi Pasar Sepi Pembeli, Ada Apa dengan Pasar Legendaris
- pexel @cottonbro studio
Viva, Banyumas - Pasar Wage Cilacap, pasar tradisional yang hanya buka pada hari pasaran Wage dalam kalender Jawa, kini tengah menghadapi krisis pengunjung yang serius. Pasar yang dulunya dikenal sebagai pusat perdagangan barang loak, hewan peliharaan, dan peralatan pertanian, kini perlahan kehilangan pamornya di tengah perubahan zaman.
Terletak di lahan milik PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), Pasar Wage dulunya menjadi magnet bagi warga dari berbagai daerah di Cilacap. Namun dalam beberapa tahun terakhir, geliat pasar ini meredup.
Sepinya pembeli menjadi keluhan utama para pedagang yang mengandalkan aktivitas pasar untuk mencari nafkah. Fajar Subekti, seorang pedagang barang loak asal Jetis, Nusawungu, menyebut bahwa keuntungan yang didapat dari berdagang di Pasar Wage kini hanya cukup untuk menutup biaya operasional.
Dikutip dari akun Instagram @cilacap_info.id, Fajar mengatakan Sudah satu tahun terakhir dagangan makin sepi. Harapannya biaya retribusi pasar bisa dikurangi. Kondisi serupa dialami oleh Rinto, pedagang blangkon dan minyak wangi yang datang dari Kroya.
Ia menyayangkan beban pengeluaran yang kian berat, mulai dari biaya perjalanan, hingga empat jenis pungutan retribusi yang harus dibayarkan—keamanan, dinas, PJKA (PT KAI), dan kebersihan.
Rinto mengungkapkan Kalau nanti pasar pindah ke tempat baru milik Pemda, setidaknya retribusinya bisa satu pintu dan lebih ringan. Saat ini, pembangunan pasar pengganti tengah menunggu penyelesaian akhir dari pihak pemerintah daerah.
Dari data Dinas Perdagangan Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (DPKUKM) Cilacap, sebanyak 221 pedagang beraktivitas di Pasar Wage, namun hanya 140 yang memiliki surat izin usaha resmi.