Ironi Hari Tani, Petani Purworejo Protes Irigasi 15 Tahun Tak Berfungsi Salurannya Ada Tapi Air Tak Mengalir

Spanduk protes warnai Hari Tani di Purworejo
Sumber :
  • Tiktok @joehartoyo

Hari Tani Nasional di Purworejo diwarnai aksi protes. Ratusan petani menuntut pemerintah memperbaiki irigasi yang 15 tahun tak berfungsi hingga lahan pertanian terbengkalai

Viva, Banyumas - Peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh setiap 24 September menjadi momen ironis bagi ratusan petani di Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pasalnya, sudah 15 tahun lamanya saluran irigasi di enam desa tidak berfungsi, membuat lahan pertanian tak bisa digarap optimal.

Enam desa terdampak meliputi Sambeng, Jrakah, Bringin, Bayan, Kragilan Pucangagung, dan Pekutan. Kondisi ini membuat petani harus merogoh kocek dalam hanya untuk sekadar menanam padi. Ada yang nekat membuat sumur bor dengan biaya tinggi, ada pula yang pasrah membiarkan sawah terbengkalai tanpa digarap.

Dikutip dari akun Instagram @surakartakita, Petani setempat mengatakan Kalau mau diolah, modalnya besar dan hasilnya tidak sebanding.

Kalau dibiarkan, hati tidak tenang karena sawah jadi sia-sia. Kondisi memprihatinkan ini memicu kritik keras dari Koalisi Masyarakat Sipil dan mahasiswa Purworejo.

Mereka menggelar aksi protes di sekitar saluran irigasi Kragilan, Desa Sambeng. Spanduk berisi sindiran pedas dibentangkan di atas saluran irigasi yang terbengkalai.

Tulisan seperti, “15 Tahun Ora Mili Cuk”, “Ora Butuh Janji, Butuh Banyu Mili”, hingga “Saluran Ada, Air Mana?” menggambarkan kekecewaan mendalam masyarakat terhadap pemerintah. Menurut para aktivis, pemerintah daerah maupun pusat seolah abai terhadap nasib petani.

Padahal, air irigasi adalah faktor vital untuk menjaga ketahanan pangan dan kesejahteraan warga. Selama 15 tahun, petani dipaksa bertahan dengan kondisi ini.

Pemerintah harus segera turun tangan. Dampak dari irigasi yang tak berfungsi jelas terasa. Produksi padi menurun drastis, biaya produksi meningkat, bahkan sebagian lahan berubah menjadi ladang kering tak terurus.

Ironi ini terasa semakin kuat karena terjadi tepat saat Hari Tani Nasional, di mana seharusnya petani mendapatkan apresiasi, bukan justru menghadapi penderitaan. Hingga kini, belum ada kepastian kapan saluran irigasi tersebut akan diperbaiki.

Masyarakat berharap protes yang digelar mampu mengetuk hati pemerintah agar segera melakukan langkah nyata. Bagi mereka, air bukan hanya kebutuhan hidup, tetapi juga penentu keberlangsungan usaha tani.

Dengan situasi ini, Hari Tani Nasional di Purworejo menjadi pengingat bahwa ketahanan pangan tidak bisa tercapai tanpa keberpihakan nyata pada petani, termasuk memastikan ketersediaan air irigasi yang memadai

Hari Tani Nasional di Purworejo diwarnai aksi protes. Ratusan petani menuntut pemerintah memperbaiki irigasi yang 15 tahun tak berfungsi hingga lahan pertanian terbengkalai

Viva, Banyumas - Peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh setiap 24 September menjadi momen ironis bagi ratusan petani di Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pasalnya, sudah 15 tahun lamanya saluran irigasi di enam desa tidak berfungsi, membuat lahan pertanian tak bisa digarap optimal.

Enam desa terdampak meliputi Sambeng, Jrakah, Bringin, Bayan, Kragilan Pucangagung, dan Pekutan. Kondisi ini membuat petani harus merogoh kocek dalam hanya untuk sekadar menanam padi. Ada yang nekat membuat sumur bor dengan biaya tinggi, ada pula yang pasrah membiarkan sawah terbengkalai tanpa digarap.

Dikutip dari akun Instagram @surakartakita, Petani setempat mengatakan Kalau mau diolah, modalnya besar dan hasilnya tidak sebanding.

Kalau dibiarkan, hati tidak tenang karena sawah jadi sia-sia. Kondisi memprihatinkan ini memicu kritik keras dari Koalisi Masyarakat Sipil dan mahasiswa Purworejo.

Mereka menggelar aksi protes di sekitar saluran irigasi Kragilan, Desa Sambeng. Spanduk berisi sindiran pedas dibentangkan di atas saluran irigasi yang terbengkalai.

Tulisan seperti, “15 Tahun Ora Mili Cuk”, “Ora Butuh Janji, Butuh Banyu Mili”, hingga “Saluran Ada, Air Mana?” menggambarkan kekecewaan mendalam masyarakat terhadap pemerintah. Menurut para aktivis, pemerintah daerah maupun pusat seolah abai terhadap nasib petani.

Padahal, air irigasi adalah faktor vital untuk menjaga ketahanan pangan dan kesejahteraan warga. Selama 15 tahun, petani dipaksa bertahan dengan kondisi ini.

Pemerintah harus segera turun tangan. Dampak dari irigasi yang tak berfungsi jelas terasa. Produksi padi menurun drastis, biaya produksi meningkat, bahkan sebagian lahan berubah menjadi ladang kering tak terurus.

Ironi ini terasa semakin kuat karena terjadi tepat saat Hari Tani Nasional, di mana seharusnya petani mendapatkan apresiasi, bukan justru menghadapi penderitaan. Hingga kini, belum ada kepastian kapan saluran irigasi tersebut akan diperbaiki.

Masyarakat berharap protes yang digelar mampu mengetuk hati pemerintah agar segera melakukan langkah nyata. Bagi mereka, air bukan hanya kebutuhan hidup, tetapi juga penentu keberlangsungan usaha tani.

Dengan situasi ini, Hari Tani Nasional di Purworejo menjadi pengingat bahwa ketahanan pangan tidak bisa tercapai tanpa keberpihakan nyata pada petani, termasuk memastikan ketersediaan air irigasi yang memadai