Kaget Tarif Cukai Rokok 57 persen, Menkeu Purbaya Cari Jalan Tengah Agar Industri Tembakau Tidak Mati

Menkeu Purbaya di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Selasa (23/9/2025)
Sumber :
  • Syifa Aulia/tvOnenews

Menkeu Purbaya kaget cukai rokok tembus 57% di era sebelumnya. Ia berencana temui asosiasi rokok untuk menyerap aspirasi sebelum mengkaji ulang kebijakan, demi menjaga industri dalam negeri.

VIVA, Banyumas – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti tingginya tarif cukai rokok di Indonesia yang saat ini mencapai 57 persen.

Ia mengaku terkejut lantaran kebijakan tersebut diterapkan sejak era kepemimpinan Menkeu sebelumnya, Sri Mulyani, yang menempatkan tarif cukai di level sangat tinggi.

Menurut Purbaya, kebijakan menaikkan cukai tidak selalu harus dilakukan dengan cara meningkatkan tarif.

“Pendapatan cukai itu enggak harus tarifnya naik kan,” kata Purbaya di Gedung DPR, Jakarta Pusat, dikutip dari tvOneNews pada Selasa (23/9/2025).

Sebagai langkah tindak lanjut, Purbaya berencana menggelar pertemuan dengan asosiasi rokok dalam waktu dekat.

Pertemuan tersebut ditujukan untuk menyerap aspirasi pelaku industri sebelum mengambil keputusan mengenai arah kebijakan tarif ke depan.

“Kita mau ketemu asosiasi rokok, seperti apa langkah yang terbaik untuk cukai rokok ini,” ungkapnya.

Ia menambahkan, pertemuan bisa dilakukan dalam satu hingga dua hari ke depan, atau bahkan melalui komunikasi jarak jauh jika memungkinkan.

Purbaya menegaskan, tujuan utama kajian ulang tarif cukai rokok adalah memastikan industri rokok dalam negeri tetap dapat bertahan di tengah tekanan kebijakan fiskal.

Ia tidak ingin kebijakan cukai justru menjadi faktor yang melemahkan daya saing produsen lokal dibandingkan dengan produk impor.

“Yang penting adalah kita ingin menjaga, jangan sampai saya mematikan industri rokok domestik, sementara industri rokok di Cina hidup, gara-gara mereka yang mensuplai kita,” kata Purbaya.

Cukai rokok memang menjadi salah satu penyumbang utama penerimaan negara. Namun, kebijakan tarif yang terlalu tinggi kerap menimbulkan dilema antara menjaga stabilitas penerimaan negara dan keberlangsungan industri.

Pemerintah dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan kepentingan fiskal dengan kondisi sosial ekonomi, termasuk tenaga kerja yang menggantungkan hidup di sektor tembakau.