Gugatan Mengejutkan: Syarat Jadi DPR hingga Presiden Harus Minimal S1, Soroti Ketidakadilan Guru Harus S1

Sidang gugatan UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi
Sumber :
  • instagram @mahkamahkonstitusi

Gugatan UU Pemilu di MK menyoroti syarat pendidikan politisi. Usulan minimal S1 untuk DPR hingga Presiden dinilai penting demi kualitas kepemimpinan bangsa

Viva, Banyumas - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) resmi digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini muncul dari seorang warga negara bernama Hanter Oriko Siregar melalui perkara nomor 154/PUU-XXIII/2025.

Dalam permohonannya, Hanter meminta agar syarat pendidikan minimal untuk menjadi anggota DPR, DPRD, presiden, wakil presiden, hingga kepala daerah dinaikkan menjadi minimal lulusan strata satu (S1) atau sederajat.

Menurut Hanter, aturan saat ini yang hanya mensyaratkan lulusan sekolah menengah atas (SMA) bagi pejabat negara justru menimbulkan ketidakadilan. Ia menilai ada ironi besar ketika seorang guru sekolah dasar yang hanya mengajar anak-anak diwajibkan minimal lulusan S1, sementara pejabat politik yang membuat undang-undang dan mengambil keputusan strategis negara cukup lulusan SMA.

Dalam sidang yang digelar pada Rabu (3/9/2025), Hanter menegaskan bahwa standar pendidikan yang terlalu rendah bagi pejabat publik berisiko menurunkan kualitas kebijakan negara. Ia mencontohkan berbagai blunder kepemimpinan yang pernah terjadi, seperti kebingungan membedakan istilah teknis antara hutan dan perkebunan sawit, atau keliru memahami perbedaan antara asam sulfat dan asam folat.

Menurutnya, hal-hal seperti ini menunjukkan urgensi peningkatan syarat pendidikan untuk para pemimpin bangsa. Dikutip dari akun Instagram @nyinyir_update_official, Hanter mengungkapkan Jika seorang guru SD saja diwajibkan berpendidikan S1 karena tanggung jawabnya pada murid, maka presiden dan anggota DPR yang bertanggung jawab pada ratusan juta rakyat seharusnya lebih tinggi lagi standarnya.

Polemik mengenai syarat pendidikan pejabat publik ini bukan hal baru. Sejumlah pakar politik dan akademisi sebelumnya juga pernah menyoroti hal serupa.