IHSG Anjlok 275 Poin di Awal September, Tanda Awal Krisis Pasar Modal Indonesia

IHSG anjlok 275 poin, pasar modal Indonesia tertekan
Sumber :
  • instagram @Artem Podrez

IHSG merosot 275 poin di awal September 2025 hingga 7.555. Tekanan global dan inflasi Jepang jadi pemicu. Investor diminta waspada sekaligus melihat peluang akumulasi

Viva, Banyumas - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membuka perdagangan awal pekan, Senin (1/9/2025), dengan pelemahan signifikan. IHSG tercatat anjlok 275 poin atau 3,52 persen ke level 7.555.

Angka tersebut menjadi sinyal kuat bahwa pasar modal Indonesia sedang berada dalam tekanan besar, terutama akibat sentimen global yang beragam dan kondisi ekonomi domestik yang belum stabil sepenuhnya.

Head of Retail Research BNI Sekuritas, Fanny Suherman, menyebutkan bahwa pelemahan ini masih berpotensi berlanjut sepanjang hari. Menurutnya, tekanan eksternal, termasuk fluktuasi pasar saham Asia, memengaruhi psikologis investor domestik.

Beberapa bursa Asia mencatat pergerakan variatif pada perdagangan akhir pekan lalu. Indeks Nikkei 225 Jepang melemah 0,26 persen, Topix turun 0,47 persen, sementara Hang Seng Hong Kong justru naik 0,32 persen. Kondisi yang tidak seragam ini menambah ketidakpastian arah investasi global.

Di sisi lain, faktor fundamental dari Jepang juga ikut memberikan tekanan. Inflasi inti di Tokyo tercatat naik 2,5 persen secara tahunan pada Agustus 2025.

Meski melandai dibandingkan bulan sebelumnya, angka ini tetap berada di atas target Bank of Japan sebesar 2 persen.

Spekulasi kenaikan suku bunga lanjutan dari bank sentral Jepang membuat pasar semakin sensitif terhadap potensi arus modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia.

Selain itu, tingkat pengangguran Jepang yang turun menjadi 2,3 persen juga menjadi perhatian pelaku pasar. Kondisi tenaga kerja yang semakin ketat bisa menjadi alasan tambahan bagi Bank of Japan untuk memperketat kebijakan moneter, yang pada akhirnya memengaruhi likuiditas global.

Bagi investor lokal, IHSG yang turun tajam di awal bulan ini tentu memunculkan pertanyaan besar: apakah ini tanda awal krisis pasar modal atau sekadar koreksi sementara? Menurut Fanny, support IHSG saat ini berada di level 7.600–7.700, dengan resistance di kisaran 7.880–7.950.

Jika tekanan masih berlanjut, IHSG berpotensi menembus level support tersebut, yang akan menjadi sinyal bearish lebih dalam. Namun, bagi investor jangka panjang, pelemahan ini justru bisa menjadi peluang untuk akumulasi saham-saham berfundamental kuat dengan valuasi lebih murah.

Strategi defensif dengan memilih sektor konsumsi primer, perbankan besar, dan energi masih dianggap cukup aman menghadapi ketidakpastian pasar.

Secara keseluruhan, anjloknya IHSG di awal September menunjukkan perlunya kewaspadaan tinggi dari para pelaku pasar. Sentimen global dan kebijakan moneter internasional harus terus dicermati, sementara faktor domestik seperti stabilitas politik dan inflasi tetap menjadi variabel penting

IHSG merosot 275 poin di awal September 2025 hingga 7.555. Tekanan global dan inflasi Jepang jadi pemicu. Investor diminta waspada sekaligus melihat peluang akumulasi

Viva, Banyumas - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membuka perdagangan awal pekan, Senin (1/9/2025), dengan pelemahan signifikan. IHSG tercatat anjlok 275 poin atau 3,52 persen ke level 7.555.

Angka tersebut menjadi sinyal kuat bahwa pasar modal Indonesia sedang berada dalam tekanan besar, terutama akibat sentimen global yang beragam dan kondisi ekonomi domestik yang belum stabil sepenuhnya.

Head of Retail Research BNI Sekuritas, Fanny Suherman, menyebutkan bahwa pelemahan ini masih berpotensi berlanjut sepanjang hari. Menurutnya, tekanan eksternal, termasuk fluktuasi pasar saham Asia, memengaruhi psikologis investor domestik.

Beberapa bursa Asia mencatat pergerakan variatif pada perdagangan akhir pekan lalu. Indeks Nikkei 225 Jepang melemah 0,26 persen, Topix turun 0,47 persen, sementara Hang Seng Hong Kong justru naik 0,32 persen. Kondisi yang tidak seragam ini menambah ketidakpastian arah investasi global.

Di sisi lain, faktor fundamental dari Jepang juga ikut memberikan tekanan. Inflasi inti di Tokyo tercatat naik 2,5 persen secara tahunan pada Agustus 2025.

Meski melandai dibandingkan bulan sebelumnya, angka ini tetap berada di atas target Bank of Japan sebesar 2 persen.

Spekulasi kenaikan suku bunga lanjutan dari bank sentral Jepang membuat pasar semakin sensitif terhadap potensi arus modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia.

Selain itu, tingkat pengangguran Jepang yang turun menjadi 2,3 persen juga menjadi perhatian pelaku pasar. Kondisi tenaga kerja yang semakin ketat bisa menjadi alasan tambahan bagi Bank of Japan untuk memperketat kebijakan moneter, yang pada akhirnya memengaruhi likuiditas global.

Bagi investor lokal, IHSG yang turun tajam di awal bulan ini tentu memunculkan pertanyaan besar: apakah ini tanda awal krisis pasar modal atau sekadar koreksi sementara? Menurut Fanny, support IHSG saat ini berada di level 7.600–7.700, dengan resistance di kisaran 7.880–7.950.

Jika tekanan masih berlanjut, IHSG berpotensi menembus level support tersebut, yang akan menjadi sinyal bearish lebih dalam. Namun, bagi investor jangka panjang, pelemahan ini justru bisa menjadi peluang untuk akumulasi saham-saham berfundamental kuat dengan valuasi lebih murah.

Strategi defensif dengan memilih sektor konsumsi primer, perbankan besar, dan energi masih dianggap cukup aman menghadapi ketidakpastian pasar.

Secara keseluruhan, anjloknya IHSG di awal September menunjukkan perlunya kewaspadaan tinggi dari para pelaku pasar. Sentimen global dan kebijakan moneter internasional harus terus dicermati, sementara faktor domestik seperti stabilitas politik dan inflasi tetap menjadi variabel penting