Mengenal Sidekah Kupat, Warisan 500 Tahun Peninggalan Prabu Siliwangi di Cilacap
- Pexel @Iskandar Al Imran
Viva, Banyumas - Warga di wilayah barat Kabupaten Cilacap, khususnya Kecamatan Dayeuhluhur dan Wanareja, setiap tahun selalu menggelar tradisi unik bernama Sidekah Kupat. Tradisi adat ini kembali dilaksanakan pada Rabu (20/8/2025) dengan penuh kebersamaan dan semangat gotong royong.
Dalam pelaksanaannya, warga membuat ketupat dalam jumlah banyak lalu menggantungnya di palang-palang bambu yang dipasang di perbatasan desa. Siapa saja yang melintas, baik warga setempat maupun pendatang, boleh mengambil ketupat tersebut tanpa dipungut biaya. Tradisi ini menjadi simbol sedekah dan kebersamaan masyarakat.
Jejak Prabu Siliwangi
Menurut pemerhati budaya Dayeuhluhur, Ceceng Rusmana, tradisi Sidekah Kupat sudah berlangsung sekitar 500 tahun. Akar sejarahnya berhubungan dengan kisah perjalanan Prabu Siliwangi, raja besar dari Kerajaan Pajajaran.
Konon, ketika Prabu Siliwangi dan pasukannya melewati wilayah Kerajaan Dayeuhluhur, masyarakat setempat menyambut dengan memberikan bekal berupa ketupat. Bekal ini diberikan sebagai tanda penghormatan sekaligus doa keselamatan bagi sang raja dan pengikutnya.
Dikutip dari informasi yang diunggah di akun Instagram @cilacap_kekinian, Ceceng mengatakan tradisi ini sejatinya merupakan bentuk penghormatan untuk menyambut kedatangan sekaligus melepas kepergian Prabu Siliwangi di Dayeuhluhur pada masa itu.
Makna Filosofis Sidekah Kupat
Selain bernilai sejarah, tradisi ini juga sarat makna filosofis. Ketupat dalam budaya Jawa dan Sunda sering dimaknai sebagai simbol kesucian hati, kebersamaan, dan rezeki yang dibagikan kepada sesama.
Dengan menggantung ketupat di jalan, masyarakat seolah mengajak siapa saja untuk ikut merasakan kebahagiaan bersama. Tradisi ini juga menjadi momentum mempererat tali silaturahmi antarwarga. Semua orang berpartisipasi, dari anak-anak hingga orang tua, dalam proses pembuatan hingga pembagian ketupat.
Daya Tarik Budaya dan Wisata
Sidekah Kupat kini bukan hanya tradisi adat, tetapi juga daya tarik budaya yang menarik minat wisatawan. Banyak orang datang untuk menyaksikan langsung bagaimana ratusan ketupat digantung di perbatasan desa, menciptakan pemandangan unik sekaligus meriah.
Selain itu, tradisi ini juga menjadi sarana edukasi bagi generasi muda agar mereka mengenal dan melestarikan warisan budaya leluhur. Dengan terus dijaga, Sidekah Kupat akan tetap hidup sebagai bagian dari identitas masyarakat Cilacap.
Menjaga Kearifan Lokal
Dalam era modernisasi, tradisi seperti Sidekah Kupat membuktikan bahwa kearifan lokal masih memiliki tempat penting di tengah masyarakat. Semangat berbagi, gotong royong, dan penghormatan pada sejarah menjadi nilai luhur yang relevan sepanjang masa.
Dengan demikian, Sidekah Kupat bukan sekadar perayaan adat, melainkan warisan budaya 500 tahun yang terus menghidupkan kisah Prabu Siliwangi sekaligus mempererat persaudaraan masyarakat
Viva, Banyumas - Warga di wilayah barat Kabupaten Cilacap, khususnya Kecamatan Dayeuhluhur dan Wanareja, setiap tahun selalu menggelar tradisi unik bernama Sidekah Kupat. Tradisi adat ini kembali dilaksanakan pada Rabu (20/8/2025) dengan penuh kebersamaan dan semangat gotong royong.
Dalam pelaksanaannya, warga membuat ketupat dalam jumlah banyak lalu menggantungnya di palang-palang bambu yang dipasang di perbatasan desa. Siapa saja yang melintas, baik warga setempat maupun pendatang, boleh mengambil ketupat tersebut tanpa dipungut biaya. Tradisi ini menjadi simbol sedekah dan kebersamaan masyarakat.
Jejak Prabu Siliwangi
Menurut pemerhati budaya Dayeuhluhur, Ceceng Rusmana, tradisi Sidekah Kupat sudah berlangsung sekitar 500 tahun. Akar sejarahnya berhubungan dengan kisah perjalanan Prabu Siliwangi, raja besar dari Kerajaan Pajajaran.
Konon, ketika Prabu Siliwangi dan pasukannya melewati wilayah Kerajaan Dayeuhluhur, masyarakat setempat menyambut dengan memberikan bekal berupa ketupat. Bekal ini diberikan sebagai tanda penghormatan sekaligus doa keselamatan bagi sang raja dan pengikutnya.
Dikutip dari informasi yang diunggah di akun Instagram @cilacap_kekinian, Ceceng mengatakan tradisi ini sejatinya merupakan bentuk penghormatan untuk menyambut kedatangan sekaligus melepas kepergian Prabu Siliwangi di Dayeuhluhur pada masa itu.
Makna Filosofis Sidekah Kupat
Selain bernilai sejarah, tradisi ini juga sarat makna filosofis. Ketupat dalam budaya Jawa dan Sunda sering dimaknai sebagai simbol kesucian hati, kebersamaan, dan rezeki yang dibagikan kepada sesama.
Dengan menggantung ketupat di jalan, masyarakat seolah mengajak siapa saja untuk ikut merasakan kebahagiaan bersama. Tradisi ini juga menjadi momentum mempererat tali silaturahmi antarwarga. Semua orang berpartisipasi, dari anak-anak hingga orang tua, dalam proses pembuatan hingga pembagian ketupat.
Daya Tarik Budaya dan Wisata
Sidekah Kupat kini bukan hanya tradisi adat, tetapi juga daya tarik budaya yang menarik minat wisatawan. Banyak orang datang untuk menyaksikan langsung bagaimana ratusan ketupat digantung di perbatasan desa, menciptakan pemandangan unik sekaligus meriah.
Selain itu, tradisi ini juga menjadi sarana edukasi bagi generasi muda agar mereka mengenal dan melestarikan warisan budaya leluhur. Dengan terus dijaga, Sidekah Kupat akan tetap hidup sebagai bagian dari identitas masyarakat Cilacap.
Menjaga Kearifan Lokal
Dalam era modernisasi, tradisi seperti Sidekah Kupat membuktikan bahwa kearifan lokal masih memiliki tempat penting di tengah masyarakat. Semangat berbagi, gotong royong, dan penghormatan pada sejarah menjadi nilai luhur yang relevan sepanjang masa.
Dengan demikian, Sidekah Kupat bukan sekadar perayaan adat, melainkan warisan budaya 500 tahun yang terus menghidupkan kisah Prabu Siliwangi sekaligus mempererat persaudaraan masyarakat