Tukang Las di Cirebon Keluhkan PBB Naik dari Rp380 Ribu Jadi Rp2,3 Juta

Ilustrasi Yayat Supriadi keluhkan PBB Cirebon naik drastis
Sumber :
  • pexel @pixabay

Viva, Banyumas - Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Cirebon memicu keluhan warga. Salah satu yang merasakan dampaknya adalah Yayat Supriadi (45), seorang tukang las yang tinggal di Jalan Raya Ahmad Yani, Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk. Yayat mengaku kaget ketika tagihan PBB rumahnya naik drastis dari Rp380 ribu menjadi Rp2,3 juta.

Setelah ada stimulus dari pemerintah daerah, jumlah tersebut memang diturunkan menjadi Rp1,7 juta. Namun, angka itu tetap dirasa berat bagi seorang buruh harian lepas.

“Itu bagi saya yang pekerja buruh lepas harian kan merasa terbebani,” ungkap Yayat dikutip dari laman Instagram @nyinyir_update_official.

NJOP Dinilai Tidak Realistis

Menurut Yayat, penyebab utama kenaikan PBB ini adalah penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Ia mencontohkan, rumah tetangganya yang dipatok Rp700 juta tak kunjung laku terjual, sementara rumahnya justru dinilai Rp1,2 miliar.

“Rumah saya dihargain Rp1,2 miliar. Saya bilang ke pegawai BPKBD, silakan bapak yang beli kalau memang harganya segitu. Tapi mereka tidak bisa menjawab,” kata Yayat.

Perbedaan harga NJOP dengan nilai pasar inilah yang kemudian menimbulkan ketidakpuasan masyarakat. Banyak warga merasa kebijakan tersebut merugikan karena tidak mempertimbangkan daya beli maupun kondisi ekonomi warga setempat.

Produktivitas Lahan Tak Dipertimbangkan

Yayat juga menyoroti cara penetapan NJOP yang hanya melihat lokasi tanpa memperhatikan produktivitas lahan.

Menurutnya, rumah di pinggir jalan memang dinilai lebih tinggi karena dianggap produktif, tetapi kenyataannya tidak semua lahan memberikan keuntungan.

“Orang bilang kalau rumah pinggir jalan itu produktif. Tapi kenyataannya tidak. Malah kalau ada mobil berhenti di depan rumah saya, justru bikin macet,” ujarnya. Hal ini membuat banyak warga merasa kebijakan kenaikan PBB hanya memukul rata tanpa analisis yang mendalam.

Beban Berat bagi Warga Kecil

Akibat lonjakan PBB tersebut, Yayat mengaku belum bisa melunasi tagihan pajaknya. Sebagai buruh harian, ia lebih mengutamakan kebutuhan keluarga daripada membayar pajak yang melonjak.

“Buat makan keluarga sehari-hari saja kadang harus dipikirkan, apalagi membayar PBB setinggi itu,” keluhnya.

Kasus Yayat mencerminkan keresahan masyarakat kecil terhadap kebijakan fiskal daerah. Pemerintah diharapkan dapat melakukan evaluasi terhadap penetapan NJOP agar lebih adil dan sesuai kondisi nyata, sehingga tidak memberatkan rakyat kecil

Viva, Banyumas - Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Cirebon memicu keluhan warga. Salah satu yang merasakan dampaknya adalah Yayat Supriadi (45), seorang tukang las yang tinggal di Jalan Raya Ahmad Yani, Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk. Yayat mengaku kaget ketika tagihan PBB rumahnya naik drastis dari Rp380 ribu menjadi Rp2,3 juta.

Setelah ada stimulus dari pemerintah daerah, jumlah tersebut memang diturunkan menjadi Rp1,7 juta. Namun, angka itu tetap dirasa berat bagi seorang buruh harian lepas.

“Itu bagi saya yang pekerja buruh lepas harian kan merasa terbebani,” ungkap Yayat dikutip dari laman Instagram @nyinyir_update_official.

NJOP Dinilai Tidak Realistis

Menurut Yayat, penyebab utama kenaikan PBB ini adalah penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Ia mencontohkan, rumah tetangganya yang dipatok Rp700 juta tak kunjung laku terjual, sementara rumahnya justru dinilai Rp1,2 miliar.

“Rumah saya dihargain Rp1,2 miliar. Saya bilang ke pegawai BPKBD, silakan bapak yang beli kalau memang harganya segitu. Tapi mereka tidak bisa menjawab,” kata Yayat.

Perbedaan harga NJOP dengan nilai pasar inilah yang kemudian menimbulkan ketidakpuasan masyarakat. Banyak warga merasa kebijakan tersebut merugikan karena tidak mempertimbangkan daya beli maupun kondisi ekonomi warga setempat.

Produktivitas Lahan Tak Dipertimbangkan

Yayat juga menyoroti cara penetapan NJOP yang hanya melihat lokasi tanpa memperhatikan produktivitas lahan.

Menurutnya, rumah di pinggir jalan memang dinilai lebih tinggi karena dianggap produktif, tetapi kenyataannya tidak semua lahan memberikan keuntungan.

“Orang bilang kalau rumah pinggir jalan itu produktif. Tapi kenyataannya tidak. Malah kalau ada mobil berhenti di depan rumah saya, justru bikin macet,” ujarnya. Hal ini membuat banyak warga merasa kebijakan kenaikan PBB hanya memukul rata tanpa analisis yang mendalam.

Beban Berat bagi Warga Kecil

Akibat lonjakan PBB tersebut, Yayat mengaku belum bisa melunasi tagihan pajaknya. Sebagai buruh harian, ia lebih mengutamakan kebutuhan keluarga daripada membayar pajak yang melonjak.

“Buat makan keluarga sehari-hari saja kadang harus dipikirkan, apalagi membayar PBB setinggi itu,” keluhnya.

Kasus Yayat mencerminkan keresahan masyarakat kecil terhadap kebijakan fiskal daerah. Pemerintah diharapkan dapat melakukan evaluasi terhadap penetapan NJOP agar lebih adil dan sesuai kondisi nyata, sehingga tidak memberatkan rakyat kecil