Hotel Syariah di Mataram Kena Tagih Royalti Meski Hanya Putar Murottal Al Quran yang Menolak Bayar Ancaman Denda Rp 4 M

Hotel syariah di Mataram hadapi aturan royalti musik
Sumber :
  • pexel @belal obeid

Viva, Banyumas - Hal mengejutkan datang dari dunia perhotelan di Mataram. Sejumlah pengusaha hotel, termasuk hotel syariah, mengeluhkan kebijakan tarif royalti musik yang ditetapkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Pasalnya, meski tidak memutar musik hiburan, mereka tetap dikenai tagihan.

Beberapa hotel syariah di Mataram hanya memutar murottal Al-Qur’an atau suara alam dari platform digital seperti YouTube. Namun, aturan LMKN tetap menghitung kewajiban pembayaran berdasarkan jumlah kamar, bukan jenis audio yang diputar. Kondisi ini dinilai merugikan, apalagi sektor pariwisata masih berjuang bangkit pascapandemi.

Dikutip dari akun Instagram @rumpi_gosip, Asosiasi Hotel Mataram (AHM), yang menaungi lebih dari 30 hotel, langsung merespons situasi ini dengan menggelar rapat koordinasi pada 21 Agustus mendatang.

Tujuannya, menyatukan sikap bersama sebelum berdialog dengan LMKN. Dari data yang ada, sebagian hotel sudah melakukan pembayaran, sementara yang lain memilih menolak karena merasa aturan tersebut tidak adil.

Yang membuat situasi semakin pelik, aturan LMKN mencantumkan sanksi berat bagi hotel yang menolak membayar. Ancaman itu berupa pidana hingga 10 tahun penjara atau denda maksimal Rp4 miliar.

Bagi pelaku usaha kecil maupun menengah, ketentuan ini jelas sangat membebani dan menimbulkan keresahan. Selain hotel, kewajiban membayar royalti juga diberlakukan bagi restoran, kafe, pub, dan diskotek. Besaran tagihan dihitung dengan formula berbeda, mulai dari kapasitas kursi, luas ruangan, hingga tingkat okupansi.

Tidak heran jika kebijakan ini menuai kritik luas, termasuk dari warganet yang menilai aturan tersebut terlalu kaku. Banyak pihak berharap pemerintah melalui LMKN bisa melakukan evaluasi secara menyeluruh.