Tuduh Data Ketenagakerjaan Direkayasa, Donald Trump Pecat Bos Statistik AS Erika McEntarfer
- instagram @thewhitehouse
Viva, Banyumas - Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memicu kontroversi dengan memecat Kepala Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS), Erika McEntarfer, pada Jumat (1/8/2025). Langkah ini dilakukan setelah Trump secara terbuka menuduh lembaga tersebut memanipulasi data ketenagakerjaan terbaru demi kepentingan politik tertentu.
Menurut laporan resmi BLS, terjadi penambahan hanya 73.000 pekerjaan pada Juli 2025, jauh di bawah ekspektasi pasar. Selain itu, data bulan Mei dan Juni juga direvisi turun secara kumulatif sebesar 258.000 pekerjaan. Hal inilah yang kemudian memicu tuduhan Trump bahwa BLS sedang "memasak data" untuk menciptakan persepsi negatif terhadap pemerintahannya. Namun, hingga kini, Trump belum memberikan bukti konkret atas tuduhan tersebut.
Melalui unggahan di media sosial pribadinya, ia menyebut laporan ketenagakerjaan itu sebagai "rekayasa" dan "buatan", mengklaim bahwa data tersebut digunakan untuk menggoyang stabilitas ekonomi yang dibanggakan oleh pemerintahannya.
Pemecatan ini menimbulkan gelombang kekhawatiran di kalangan ekonom, akademisi, dan pengamat statistik. Banyak yang menyebut tindakan ini sebagai langkah berbahaya terhadap independensi data resmi pemerintah, yang selama ini menjadi fondasi transparansi ekonomi AS.
Erica Groshen, mantan kepala BLS di era Presiden Obama, menyebut bahwa kebijakan Gedung Putih yang mulai berlaku sejak April 2025 memperlonggar perlindungan terhadap pegawai sipil. Ini membuka celah terjadinya politisasi terhadap lembaga-lembaga independen seperti BLS.
"Jika kepala lembaga statistik bisa dipecat hanya karena data yang dirilis tidak sesuai agenda presiden, maka kredibilitas Amerika dalam hal transparansi data bisa runtuh," ujar Groshen dilansir dari The Guardian.
Groshen mencontohkan bahwa negara-negara seperti Argentina dan Yunani pernah kehilangan kredibilitas statistiknya karena tekanan pemerintah untuk mengubah angka. Bahkan pada 2013, IMF sempat menolak data inflasi Argentina karena dianggap tidak akurat.