Restorative Justice Klaten: Mengapa Tersangka Justru Dikirim ke Masjid dan Balai Desa?
- instagram @kejari_klaten
Viva, Banyumas -Pendekatan Restorative Justice terus diterapkan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Klaten dalam menangani perkara pidana umum. Dalam salah satu langkah inovatif, dua tersangka dari kasus penipuan dan KDRT tidak diproses melalui jalur pengadilan biasa, melainkan dikirim untuk menjalani pembinaan sosial.
Mereka diberikan tanggung jawab sosial di fasilitas umum seperti masjid dan balai desa, yang bertujuan membentuk kesadaran moral dan sosial. Salah satu tersangka, yang terlibat dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, dikirim untuk membantu membersihkan masjid di wilayah Klaten. Ia tidak hanya menjalani kerja sosial, tetapi juga mengikuti kegiatan keagamaan sebagai bagian dari proses restorative justice.
Sementara itu, tersangka lain yang terjerat kasus penipuan mendapat penugasan membersihkan balai desa sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial atas perbuatannya.
Program restorative justice yang dilaksanakan di Klaten ini menjadi alternatif penyelesaian perkara yang lebih manusiawi dan edukatif.
Dengan mengirim para tersangka ke tempat-tempat strategis seperti masjid dan balai desa, diharapkan mereka tidak hanya menebus kesalahan, tapi juga berkontribusi positif kepada masyarakat.
Pendekatan ini sekaligus menegaskan peran kejaksaan dalam membina, bukan sekadar menghukum.
Salah satu perkara melibatkan tersangka H (25), warga Kecamatan Pedan yang terlibat dalam kasus KDRT.
Melalui pendekatan restorative justice di Klaten, H tidak diproses secara formal di pengadilan, namun diwajibkan membersihkan masjid setiap hari selama dua jam selama dua bulan.
Ia juga mengikuti bimbingan keagamaan dengan membaca Al-Qur’an bersama ustaz masjid. Bahkan, tersangka menyatakan kesiapannya untuk melanjutkan pendidikan agama di pesantren usai menyelesaikan kewajiban sosial tersebut.
Dilansir dari laman Instagram Kejari Klaten, Di sisi lain, perkara kedua menjerat S (54), warga Cawas yang terlibat kasus penipuan dan penggelapan.
Dalam upaya damai antara korban dan tersangka, Kejari Klaten memutuskan bahwa S harus melakukan kerja sosial di balai desa selama seminggu.
Ia membersihkan area balai desa selama dua jam setiap hari sebagai bentuk tanggung jawab moral.
Kedua aksi sosial ini dinilai sebagai bentuk konkret dari semangat keadilan restoratif, yang mengedepankan pemulihan hubungan sosial daripada penghukuman semata.
Kasi Pidana Umum Kejari Klaten, Aspi Riyal Juli Indarman, menekankan bahwa restorative justice bukan berarti bebas tanpa konsekuensi.
Bila ada pengulangan tindak pidana, hak restorative justice akan dicabut dan proses hukum dilanjutkan.
Program ini juga melibatkan lintas instansi, termasuk Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker), yang turut memfasilitasi pelatihan kerja bagi tersangka yang belum memiliki keterampilan.
Kejari Klaten berharap penerapan restorative justice Klaten dapat menjadi contoh positif dalam penegakan hukum berbasis kemanusiaan.
Melalui program ini, tersangka bukan hanya sekadar menebus kesalahan, tetapi juga dibina agar dapat kembali menjadi bagian positif di masyarakat
Viva, Banyumas -Pendekatan Restorative Justice terus diterapkan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Klaten dalam menangani perkara pidana umum. Dalam salah satu langkah inovatif, dua tersangka dari kasus penipuan dan KDRT tidak diproses melalui jalur pengadilan biasa, melainkan dikirim untuk menjalani pembinaan sosial.
Mereka diberikan tanggung jawab sosial di fasilitas umum seperti masjid dan balai desa, yang bertujuan membentuk kesadaran moral dan sosial. Salah satu tersangka, yang terlibat dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, dikirim untuk membantu membersihkan masjid di wilayah Klaten. Ia tidak hanya menjalani kerja sosial, tetapi juga mengikuti kegiatan keagamaan sebagai bagian dari proses restorative justice.
Sementara itu, tersangka lain yang terjerat kasus penipuan mendapat penugasan membersihkan balai desa sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial atas perbuatannya.
Program restorative justice yang dilaksanakan di Klaten ini menjadi alternatif penyelesaian perkara yang lebih manusiawi dan edukatif.
Dengan mengirim para tersangka ke tempat-tempat strategis seperti masjid dan balai desa, diharapkan mereka tidak hanya menebus kesalahan, tapi juga berkontribusi positif kepada masyarakat.
Pendekatan ini sekaligus menegaskan peran kejaksaan dalam membina, bukan sekadar menghukum.
Salah satu perkara melibatkan tersangka H (25), warga Kecamatan Pedan yang terlibat dalam kasus KDRT.
Melalui pendekatan restorative justice di Klaten, H tidak diproses secara formal di pengadilan, namun diwajibkan membersihkan masjid setiap hari selama dua jam selama dua bulan.
Ia juga mengikuti bimbingan keagamaan dengan membaca Al-Qur’an bersama ustaz masjid. Bahkan, tersangka menyatakan kesiapannya untuk melanjutkan pendidikan agama di pesantren usai menyelesaikan kewajiban sosial tersebut.
Dilansir dari laman Instagram Kejari Klaten, Di sisi lain, perkara kedua menjerat S (54), warga Cawas yang terlibat kasus penipuan dan penggelapan.
Dalam upaya damai antara korban dan tersangka, Kejari Klaten memutuskan bahwa S harus melakukan kerja sosial di balai desa selama seminggu.
Ia membersihkan area balai desa selama dua jam setiap hari sebagai bentuk tanggung jawab moral.
Kedua aksi sosial ini dinilai sebagai bentuk konkret dari semangat keadilan restoratif, yang mengedepankan pemulihan hubungan sosial daripada penghukuman semata.
Kasi Pidana Umum Kejari Klaten, Aspi Riyal Juli Indarman, menekankan bahwa restorative justice bukan berarti bebas tanpa konsekuensi.
Bila ada pengulangan tindak pidana, hak restorative justice akan dicabut dan proses hukum dilanjutkan.
Program ini juga melibatkan lintas instansi, termasuk Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker), yang turut memfasilitasi pelatihan kerja bagi tersangka yang belum memiliki keterampilan.
Kejari Klaten berharap penerapan restorative justice Klaten dapat menjadi contoh positif dalam penegakan hukum berbasis kemanusiaan.
Melalui program ini, tersangka bukan hanya sekadar menebus kesalahan, tetapi juga dibina agar dapat kembali menjadi bagian positif di masyarakat