Ahli UGM: Kerusakan Tambang Nikel Raja Ampat Bisa Tembus Rp300 Triliun, Lebih Besar dari Kasus Timah
- Pexel @Travis Rupert
Viva, Banyumas - Aktivitas tambang nikel di kawasan pulau-pulau kecil Raja Ampat kembali memicu perhatian publik. Ahli UGM, Fahmy Radhi, menyampaikan bahwa dampak lingkungan yang ditimbulkan tergolong parah dan mengancam ekosistem langka di wilayah tersebut. Ia menegaskan, skala kerusakan akibat eksploitasi tambang itu bukan hanya besar secara fisik, tapi juga bernilai tinggi secara ekologis.
Menurut ahli UGM tersebut, kerugian yang ditaksir dari kerusakan lingkungan di Raja Ampat bisa tembus Rp300 triliun, angka yang mengejutkan jika dibandingkan dengan skandal korupsi di sektor pertambangan lainnya.
Fahmy bahkan menyatakan bahwa nilai kerugian tersebut lebih besar dari kasus Timah, yang selama ini menjadi sorotan utama dalam hal dampak ekonomi dan kerugian negara. Ia menyoroti bahwa kegiatan tambang nikel di Raja Ampat bukan hanya melanggar prinsip pelestarian alam, tetapi juga berisiko menciptakan krisis ekologi jangka panjang.
Dengan nilai kerugian yang diperkirakan tembus Rp300 triliun, ahli UGM itu mendorong pemerintah agar lebih tegas dalam menindak pelanggaran tambang yang justru berdampak lebih besar dari kasus Timah.
Dilansir dari akun Instagram @pandemictaks, Fahmy menegaskan bahwa kerugian tersebut tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga menyangkut kerusakan permanen terhadap ekosistem langka di Raja Ampat.
Ia menyebut flora dan fauna khas yang punah akibat aktivitas tambang tidak akan bisa direklamasi kembali, menjadikan kerusakan ini sebagai bencana ekologis jangka panjang. Ahli UGM itu juga menyoroti keberlanjutan operasi PT GAG Nikel (GN) di wilayah Raja Ampat, meskipun empat izin usaha pertambangan (IUP) lainnya telah dicabut.
Ia mengkhawatirkan dampak debu tambang yang mengandung arsenik, yang dapat tersebar luas dan mencemari kawasan konservasi. Lebih lanjut, Fahmy menilai PT GAG telah melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang kegiatan tambang di pulau dengan luas kurang dari 2.000 km² tanpa syarat.