TNI AD Rekrut 24 Ribu Tentara Baru, Benarkah Demi Bangun Desa atau Agenda Politik?

Seleksi tentara baru TNI AD tahun 2025
Sumber :
  • instagram @tni_angkatan_darat

Viva, Banyumas - TNI AD rekrut 24 ribu tentara baru pada tahun 2025 sebagai bagian dari strategi nasional membentuk Batalyon Teritorial Pembangunan. Unit ini dirancang untuk mendukung program bangun desa lewat kontribusi di sektor pertanian, kesehatan, peternakan, hingga infrastruktur di seluruh kabupaten dan kota Indonesia.

Program TNI AD rekrut 24 ribu tentara baru ini menarik perhatian publik karena menyasar wilayah sipil dengan dalih mempercepat pembangunan. Meski disebut sebagai upaya bangun desa, sejumlah pengamat menilai langkah ini sarat muatan agenda politik yang bisa memperluas pengaruh militer dalam kehidupan masyarakat.

Kehadiran 24 ribu tentara baru dari hasil TNI AD rekrut secara massal memunculkan pertanyaan mengenai urgensi dan dampaknya. Alih-alih hanya untuk bangun desa, sebagian pihak menganggap ini bisa menjadi bagian dari agenda politik tersembunyi menjelang dinamika kekuasaan nasional ke depan.

Dikutip dari informasi yang diunggah akun Instagram @purworejoku, Menurut Brigjen Wahyu Yudhayana, animo masyarakat terhadap program ini sangat tinggi, dengan lebih dari 100.000 orang telah mendaftar.

Program ini disebut sebagai bagian dari strategi besar Presiden Prabowo Subianto dalam membangun stabilitas nasional melalui kekuatan teritorial.

Namun, rencana ini justru memicu sejumlah kekhawatiran dan kritik dari berbagai kalangan. Salah satu suara kritis datang dari Made Supriatma, peneliti di ISEAS-Yusof Ishak Institute.

Ia menilai kehadiran Batalyon Pembangunan di seluruh wilayah Indonesia berpotensi memperluas jaringan pengaruh militer di ranah sipil.

Dengan latar belakang Babinsa dan program-program seperti Koperasi Merah Putih, kekuatan teritorial TNI sudah cukup mendalam.

Menurutnya, ekspansi ini bisa menimbulkan efek dominasi militer dalam politik praktis dan bahkan memengaruhi proses pemilihan presiden di masa depan.

Kekhawatiran serupa juga disuarakan oleh Jaleswari Pramodhawardani dari LAB 45. Ia mempertanyakan dasar analisis kebutuhan yang digunakan dalam keputusan merekrut puluhan ribu prajurit baru, terutama ketika anggaran pertahanan sedang dibebani isu modernisasi alutsista.

Menurutnya, fokus TNI seharusnya diarahkan pada peningkatan kapabilitas tempur dan teknologi, bukan pada penambahan personel dalam jumlah besar.

Made juga menambahkan bahwa tanpa adanya ancaman perang nyata, pembesaran TNI dalam skala besar terkesan tidak relevan.

Ia mengingatkan bahwa banyak prajurit usia tua yang tak lagi bisa bertugas secara operasional bisa saja terdorong masuk ke ruang-ruang politik, membuka potensi benturan antara militer dan demokrasi sipil

Viva, Banyumas - TNI AD rekrut 24 ribu tentara baru pada tahun 2025 sebagai bagian dari strategi nasional membentuk Batalyon Teritorial Pembangunan. Unit ini dirancang untuk mendukung program bangun desa lewat kontribusi di sektor pertanian, kesehatan, peternakan, hingga infrastruktur di seluruh kabupaten dan kota Indonesia.

Program TNI AD rekrut 24 ribu tentara baru ini menarik perhatian publik karena menyasar wilayah sipil dengan dalih mempercepat pembangunan. Meski disebut sebagai upaya bangun desa, sejumlah pengamat menilai langkah ini sarat muatan agenda politik yang bisa memperluas pengaruh militer dalam kehidupan masyarakat.

Kehadiran 24 ribu tentara baru dari hasil TNI AD rekrut secara massal memunculkan pertanyaan mengenai urgensi dan dampaknya. Alih-alih hanya untuk bangun desa, sebagian pihak menganggap ini bisa menjadi bagian dari agenda politik tersembunyi menjelang dinamika kekuasaan nasional ke depan.

Dikutip dari informasi yang diunggah akun Instagram @purworejoku, Menurut Brigjen Wahyu Yudhayana, animo masyarakat terhadap program ini sangat tinggi, dengan lebih dari 100.000 orang telah mendaftar.

Program ini disebut sebagai bagian dari strategi besar Presiden Prabowo Subianto dalam membangun stabilitas nasional melalui kekuatan teritorial.

Namun, rencana ini justru memicu sejumlah kekhawatiran dan kritik dari berbagai kalangan. Salah satu suara kritis datang dari Made Supriatma, peneliti di ISEAS-Yusof Ishak Institute.

Ia menilai kehadiran Batalyon Pembangunan di seluruh wilayah Indonesia berpotensi memperluas jaringan pengaruh militer di ranah sipil.

Dengan latar belakang Babinsa dan program-program seperti Koperasi Merah Putih, kekuatan teritorial TNI sudah cukup mendalam.

Menurutnya, ekspansi ini bisa menimbulkan efek dominasi militer dalam politik praktis dan bahkan memengaruhi proses pemilihan presiden di masa depan.

Kekhawatiran serupa juga disuarakan oleh Jaleswari Pramodhawardani dari LAB 45. Ia mempertanyakan dasar analisis kebutuhan yang digunakan dalam keputusan merekrut puluhan ribu prajurit baru, terutama ketika anggaran pertahanan sedang dibebani isu modernisasi alutsista.

Menurutnya, fokus TNI seharusnya diarahkan pada peningkatan kapabilitas tempur dan teknologi, bukan pada penambahan personel dalam jumlah besar.

Made juga menambahkan bahwa tanpa adanya ancaman perang nyata, pembesaran TNI dalam skala besar terkesan tidak relevan.

Ia mengingatkan bahwa banyak prajurit usia tua yang tak lagi bisa bertugas secara operasional bisa saja terdorong masuk ke ruang-ruang politik, membuka potensi benturan antara militer dan demokrasi sipil