Gugat ke MK, Warga Desak Uang Pensiun DPR Dihapus: Hanya 5 Tahun Kerja, Seumur Hidup Menikmati Jadi Beban APBN

Warga gugat pensiun DPR di Mahkamah Konstitusi
Sumber :
  • instagram @mahkamahkonstitusi

Dua warga gugat UU 12/1980 ke MK, menilai pensiun DPR seumur hidup tidak adil. Hanya 5 tahun menjabat, DPR bisa nikmati pensiun, beban APBN capai Rp226 miliar

Viva, Banyumas - Isu mengenai uang pensiun Anggota DPR kembali menjadi sorotan publik setelah dua warga, Lita Linggayani Gading dan Syamsul Jahidin, resmi mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka menilai aturan pensiun yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tidak adil dan memberatkan keuangan negara.

Dalam permohonannya, kedua warga tersebut mempersoalkan status Anggota DPR yang berhak memperoleh uang pensiun seumur hidup meski hanya menjabat selama satu periode, yaitu lima tahun.

Hal ini dianggap sangat berbeda dengan sistem pensiun pekerja pada umumnya.

“Rakyat biasa harus menabung lewat BPJS Ketenagakerjaan atau program pensiun lain dengan syarat tertentu. Sementara Anggota DPR cukup duduk lima tahun di kursi parlemen sudah berhak menerima pensiun seumur hidup,” ungkap pemohon perkara nomor 176/PUU-XXIII/2025 dikutip dari Viva.

Selain uang pensiun bulanan, Anggota DPR juga berhak mendapat tunjangan hari tua (THT) sebesar Rp 15 juta yang dibayarkan sekali.

Perbandingan ini semakin terasa timpang jika melihat aturan pensiun di lembaga lain, seperti hakim Mahkamah Agung, ASN, anggota TNI, Polri, hingga BPK, yang hanya bisa memperoleh pensiun setelah bekerja minimal 10 hingga 35 tahun.

Pemohon bahkan memaparkan perhitungan sejak UU tersebut berlaku pada 1980. Tercatat ada 5.175 orang yang pernah duduk di DPR RI hingga 2025 dan menjadi penerima pensiun.

Akumulasi total beban terhadap APBN mencapai Rp 226 miliar.

“Angka ini jelas menunjukkan beban pajak rakyat yang terus bertambah, sementara manfaat hanya dinikmati segelintir orang,” kata pemohon dalam berkas gugatannya.

Menurut pemohon, situasi ini sangat merugikan rakyat karena dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan, pendidikan, atau kesehatan justru dipakai untuk membayar pensiun mantan anggota DPR.

Gugatan ini, lanjut mereka, bukan sekadar kritik, tetapi juga bentuk upaya menuntut keadilan fiskal.

Sejumlah pakar hukum tata negara menilai gugatan ini berpotensi memicu perdebatan serius. MK diharapkan dapat mempertimbangkan aspek keadilan sosial serta keberlanjutan fiskal negara dalam memutuskan perkara.

Jika MK mengabulkan, maka sistem pensiun DPR berpotensi direvisi, sehingga tidak lagi membebani APBN secara berlebihan.

Sebaliknya, jika ditolak, polemik soal keistimewaan pensiun anggota DPR diprediksi akan terus menjadi isu panas di masyarakat.

Dengan gugatan ini, publik menaruh harapan besar pada MK untuk menghadirkan keadilan dan menegaskan bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan jalan pintas menuju fasilitas seumur hidup

Dua warga gugat UU 12/1980 ke MK, menilai pensiun DPR seumur hidup tidak adil. Hanya 5 tahun menjabat, DPR bisa nikmati pensiun, beban APBN capai Rp226 miliar

Viva, Banyumas - Isu mengenai uang pensiun Anggota DPR kembali menjadi sorotan publik setelah dua warga, Lita Linggayani Gading dan Syamsul Jahidin, resmi mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka menilai aturan pensiun yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tidak adil dan memberatkan keuangan negara.

Dalam permohonannya, kedua warga tersebut mempersoalkan status Anggota DPR yang berhak memperoleh uang pensiun seumur hidup meski hanya menjabat selama satu periode, yaitu lima tahun.

Hal ini dianggap sangat berbeda dengan sistem pensiun pekerja pada umumnya.

“Rakyat biasa harus menabung lewat BPJS Ketenagakerjaan atau program pensiun lain dengan syarat tertentu. Sementara Anggota DPR cukup duduk lima tahun di kursi parlemen sudah berhak menerima pensiun seumur hidup,” ungkap pemohon perkara nomor 176/PUU-XXIII/2025 dikutip dari Viva.

Selain uang pensiun bulanan, Anggota DPR juga berhak mendapat tunjangan hari tua (THT) sebesar Rp 15 juta yang dibayarkan sekali.

Perbandingan ini semakin terasa timpang jika melihat aturan pensiun di lembaga lain, seperti hakim Mahkamah Agung, ASN, anggota TNI, Polri, hingga BPK, yang hanya bisa memperoleh pensiun setelah bekerja minimal 10 hingga 35 tahun.

Pemohon bahkan memaparkan perhitungan sejak UU tersebut berlaku pada 1980. Tercatat ada 5.175 orang yang pernah duduk di DPR RI hingga 2025 dan menjadi penerima pensiun.

Akumulasi total beban terhadap APBN mencapai Rp 226 miliar.

“Angka ini jelas menunjukkan beban pajak rakyat yang terus bertambah, sementara manfaat hanya dinikmati segelintir orang,” kata pemohon dalam berkas gugatannya.

Menurut pemohon, situasi ini sangat merugikan rakyat karena dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan, pendidikan, atau kesehatan justru dipakai untuk membayar pensiun mantan anggota DPR.

Gugatan ini, lanjut mereka, bukan sekadar kritik, tetapi juga bentuk upaya menuntut keadilan fiskal.

Sejumlah pakar hukum tata negara menilai gugatan ini berpotensi memicu perdebatan serius. MK diharapkan dapat mempertimbangkan aspek keadilan sosial serta keberlanjutan fiskal negara dalam memutuskan perkara.

Jika MK mengabulkan, maka sistem pensiun DPR berpotensi direvisi, sehingga tidak lagi membebani APBN secara berlebihan.

Sebaliknya, jika ditolak, polemik soal keistimewaan pensiun anggota DPR diprediksi akan terus menjadi isu panas di masyarakat.

Dengan gugatan ini, publik menaruh harapan besar pada MK untuk menghadirkan keadilan dan menegaskan bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan jalan pintas menuju fasilitas seumur hidup