Ko Jaga Alam, Alam Jaga Ko: Malagufuk, Warisan Hutan Terakhir Papua di Ujung Tanduk Gempuran Kelapa Sawit
- pexel @Laura Monticelli
Viva, Banyumas - Di tengah tekanan besar dari industri ekstraktif yang terus merambah wilayah Papua, Malagufuk menjadi benteng terakhir yang menjaga warisan hutan alami. Kampung kecil di Distrik Klasow ini berusaha mempertahankan hutan di ujung tanduk yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat Moi.
Di tengah gempuran sawit, Malagufuk menunjukkan sikap tegas bahwa alam bukan untuk dijual, melainkan diwariskan ke generasi selanjutnya. Peran penting dimainkan oleh Opyor Jhener Kalami alias Opi, pemuda Moi yang menjadi tulang punggung pengelolaan ekowisata di Malagufuk, Papua. Ia bersama pemuda kampung lainnya bukan hanya memandu wisatawan, tapi juga menjaga keberlanjutan hutan sebagai warisan budaya dan ekologi.
Dengan ancaman gempuran sawit yang terus menghantui, mereka teguh memegang prinsip leluhur: ko jaga alam, alam jaga ko, yang jadi pedoman hidup mereka. Kini, masa depan Malagufuk di Papua berada dalam situasi genting. Jika hutan di ujung tanduk ini jatuh ke tangan industri, maka hilanglah warisan paling berharga suku Moi.
Gempuran sawit tak hanya merusak alam, tetapi juga mengancam identitas dan nilai hidup masyarakat.
Namun selama Opyor Jhener Kalami alias Opi dan warga tetap berpegang pada prinsip ko jaga alam, alam jaga ko, harapan untuk mempertahankan Malagufuk tetap menyala.
Sosok kunci perjuangan itu adalah Opyor Jhener Kalami alias Opi (28), anak muda Moi yang menjadi pengelola ekowisata Malagufuk.
Bersama para pemuda lainnya, Opi menjaga hutan tidak hanya sebagai ruang hidup, tetapi juga sebagai sumber penghidupan dan kebanggaan. Lewat paket tur pengamatan burung—terutama cenderawasih, ikon Papua—ekowisata Malagufuk mampu menghasilkan ratusan juta rupiah per tahun tanpa harus merusak alam.
Namun bayang-bayang ancaman terus menghantui. Ramainya konflik tanah adat dan sawit di wilayah Sorong menyentak kesadaran Opi.
Ia tahu, jika industri sawit terus merangsek, bisa jadi Malagufuk adalah korban berikutnya. “Saya takut kalau kelapa sawit masuk.
Jangan sampai anak cucu kami nanti hanya melihat ‘cenderasawit’, bukan cenderawasih,” kata Opi dikutip dari akun Instagram @awreceh.id pada 8 Juni 2025.
Bagi masyarakat Moi, hutan bukan sekadar ruang hijau, melainkan tam sini, yang berarti “mama” dalam bahasa setempat.
Mama yang melahirkan, memberi makan, dan menyembuhkan. Jika mama dirusak, maka hilanglah keseimbangan hidup.
Karena itu, Opi dan warga Malagufuk bertekad mati-matian menjaga Hutan Klasow, bahkan tak segan menyebut bahwa perambahan liar sama saja memicu genderang perang.
Falsafah hidup orang Moi sederhana tapi kuat: “Ko jaga alam, alam jaga ko.” Prinsip ini ditanamkan secara turun-temurun.
Bagi mereka, membiarkan hutan ditebang adalah bentuk pengkhianatan terhadap leluhur dan generasi mendatang.
Maka, masa depan Malagufuk sangat tergantung pada konsistensi warganya dan keberpihakan negara dalam melindungi hak masyarakat adat atas hutan