Geger! 100 Ribu Ton Beras Impor Bulog Diduga Menumpuk Digudang Terancam Jadi Limbah Rp 1,2 Triliun
- instagram @perum.bulog
Beras impor Bulog menumpuk di gudang hingga hampir 2 tahun. Sebanyak 100 ribu ton berpotensi jadi limbah Rp 1,2 triliun, kualitas pangan kini dipertanyakan
Viva, Banyumas - Isu beras impor kembali menjadi sorotan publik. Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mengungkapkan fakta mengejutkan terkait stok beras impor yang masih menumpuk di gudang Bulog.
Menurutnya, lebih dari 100 ribu ton beras impor berpotensi berubah status menjadi disposal atau limbah, karena tidak lagi layak untuk dikonsumsi manusia. Nilai kerugiannya diperkirakan mencapai Rp 1,2 triliun.
Dwi menjelaskan, beras impor tersebut masuk ke Indonesia sejak Februari tahun lalu. Hingga saat ini, jumlah stok beras impor yang tersisa di gudang Bulog masih mencapai 1,7 hingga 1,9 juta ton. Jika dihitung sejak masa penyimpanan di negara asal, usia beras impor itu sudah mendekati dua tahun.
Dilansir dari laman Instagram @voktis.id, Dwi mengatakan Dua tahun itu sudah sangat tidak layak sebenarnya dikonsumsi.
Menurutnya, semakin lama beras disimpan, kualitas gizinya akan menurun drastis, bahkan bisa menimbulkan risiko kesehatan jika tetap dikonsumsi. Situasi ini memunculkan pertanyaan serius mengenai strategi pengelolaan stok pangan nasional.
Pasalnya, impor beras dilakukan dengan alasan menjaga cadangan pangan dan menstabilkan harga di pasaran. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar stok justru menumpuk terlalu lama tanpa penyaluran optimal.
Para pakar menilai, potensi kerugian hingga Rp 1,2 triliun bukan hanya soal nilai ekonomis, tetapi juga menyangkut efisiensi kebijakan pangan. Apabila beras dalam jumlah besar tidak bisa dimanfaatkan, masyarakat tetap menanggung beban melalui alokasi anggaran negara. Di sisi lain, Bulog selama ini memiliki tugas strategis menjaga ketahanan pangan nasional.
Namun, tantangan besar muncul ketika beras impor tidak segera disalurkan, baik untuk program bantuan sosial maupun operasi pasar. Hal ini bisa berdampak pada kualitas beras yang terus menurun seiring waktu.
Selain itu, isu beras impor kadaluarsa juga menimbulkan kekhawatiran publik terkait transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pangan.
Masyarakat tentu berharap, setiap kebijakan impor didasarkan pada perhitungan kebutuhan yang matang, bukan sekadar keputusan jangka pendek. Pengamat pangan menilai, ke depan pemerintah perlu lebih selektif dalam mengambil langkah impor.
Evaluasi menyeluruh atas kebijakan pangan sangat penting, agar kasus penumpukan beras berusia hampir dua tahun ini tidak terulang. Jika tidak, kerugian negara bisa semakin membengkak, sementara kepercayaan publik terhadap pengelolaan pangan kian tergerus
Beras impor Bulog menumpuk di gudang hingga hampir 2 tahun. Sebanyak 100 ribu ton berpotensi jadi limbah Rp 1,2 triliun, kualitas pangan kini dipertanyakan
Viva, Banyumas - Isu beras impor kembali menjadi sorotan publik. Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mengungkapkan fakta mengejutkan terkait stok beras impor yang masih menumpuk di gudang Bulog.
Menurutnya, lebih dari 100 ribu ton beras impor berpotensi berubah status menjadi disposal atau limbah, karena tidak lagi layak untuk dikonsumsi manusia. Nilai kerugiannya diperkirakan mencapai Rp 1,2 triliun.
Dwi menjelaskan, beras impor tersebut masuk ke Indonesia sejak Februari tahun lalu. Hingga saat ini, jumlah stok beras impor yang tersisa di gudang Bulog masih mencapai 1,7 hingga 1,9 juta ton. Jika dihitung sejak masa penyimpanan di negara asal, usia beras impor itu sudah mendekati dua tahun.
Dilansir dari laman Instagram @voktis.id, Dwi mengatakan Dua tahun itu sudah sangat tidak layak sebenarnya dikonsumsi.
Menurutnya, semakin lama beras disimpan, kualitas gizinya akan menurun drastis, bahkan bisa menimbulkan risiko kesehatan jika tetap dikonsumsi. Situasi ini memunculkan pertanyaan serius mengenai strategi pengelolaan stok pangan nasional.
Pasalnya, impor beras dilakukan dengan alasan menjaga cadangan pangan dan menstabilkan harga di pasaran. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar stok justru menumpuk terlalu lama tanpa penyaluran optimal.
Para pakar menilai, potensi kerugian hingga Rp 1,2 triliun bukan hanya soal nilai ekonomis, tetapi juga menyangkut efisiensi kebijakan pangan. Apabila beras dalam jumlah besar tidak bisa dimanfaatkan, masyarakat tetap menanggung beban melalui alokasi anggaran negara. Di sisi lain, Bulog selama ini memiliki tugas strategis menjaga ketahanan pangan nasional.
Namun, tantangan besar muncul ketika beras impor tidak segera disalurkan, baik untuk program bantuan sosial maupun operasi pasar. Hal ini bisa berdampak pada kualitas beras yang terus menurun seiring waktu.
Selain itu, isu beras impor kadaluarsa juga menimbulkan kekhawatiran publik terkait transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pangan.
Masyarakat tentu berharap, setiap kebijakan impor didasarkan pada perhitungan kebutuhan yang matang, bukan sekadar keputusan jangka pendek. Pengamat pangan menilai, ke depan pemerintah perlu lebih selektif dalam mengambil langkah impor.
Evaluasi menyeluruh atas kebijakan pangan sangat penting, agar kasus penumpukan beras berusia hampir dua tahun ini tidak terulang. Jika tidak, kerugian negara bisa semakin membengkak, sementara kepercayaan publik terhadap pengelolaan pangan kian tergerus