Konflik Tanah di Tambakreja Cilacap: Warga Terancam Tergusur, Diduga Mafia Pertanahan
- pexel @Matthias Zomer
Warga Tambakreja, Cilacap, menghadapi ancaman penggusuran akibat klaim sertifikat baru. Dugaan mafia pertanahan membuat pemerintah diminta turun tangan
Viva,Banyumas - Konflik tanah di Kelurahan Tambakreja, Kecamatan Cilacap Selatan, semakin memanas. Puluhan warga yang telah tinggal turun-temurun di atas tanah negara kini menghadapi ancaman penggusuran setelah muncul klaim kepemilikan dari pihak lain.
Situasi ini menjadi lebih kompleks karena kuasa hukum warga menuding adanya praktik mafia pertanahan yang perlu segera diusut. Kuasa hukum warga, Bambang Sri Wahono, menyatakan bahwa kasus ini bukan persoalan sederhana.
Ia menduga terjadi penyalahgunaan sertifikat tanah sehingga tanah negara bisa beralih menjadi kepemilikan pribadi. Bambang dikutip dari akun Instagram @cilacap_info.id mengatakanSejumlah warga RT 05 menempati tanah eigendom ternyata dibuat sertifikat oleh penggugat.
Ini sedang berproses di polisi apakah benar nyaplok dengan jual beli kepada negara atau bukan. Sampai hari ini negara Cilacap diam saja. Maka ini mau tak laporkan ke polisi, yaitu namanya mafia pertanahan.
Bambang menambahkan, warga memiliki dasar hukum yang jelas untuk menempati tanah tersebut. Berdasarkan Keputusan Bupati Cilacap tertanggal 7 Februari 1989, rumah-rumah di Jalan Kokosan RT 05 RW XV mendapat izin pemutihan IMB di atas tanah negara.
Dokumen resmi ini ditandatangani pejabat yang sah atas nama Bupati pada waktu itu. Namun kenyataannya, warga justru terdesak oleh munculnya sertifikat baru dari penggugat. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada warga RT 05, tetapi juga RT 04 yang ikut terdampak. Menurut Bambang, luas lahan yang diklaim penggugat berubah drastis.
Penggugat yang semula memiliki lahan 448 meter persegi tiba-tiba berubah menjadi 4.125 meter persegi. Ini jelas merugikan masyarakat. Resah dengan situasi ini, warga menuntut pemerintah daerah dan DPRD Cilacap turun tangan untuk melindungi hak-hak mereka.
Mereka menekankan bahwa tanah negara tidak seharusnya dimiliki secara pribadi tanpa prosedur yang sah. Kasus ini menjadi sorotan penting karena menyingkap potensi praktik mafia pertanahan yang merugikan masyarakat kecil.
Warga berharap pemerintah dapat segera mengambil langkah tegas, memastikan hak tinggal mereka tidak hilang, dan menegakkan keadilan hukum terkait kepemilikan tanah negara. Transparansi dan penegakan hukum menjadi kunci agar sengketa ini dapat diselesaikan secara adil dan berdampak positif bagi masyarakat
Warga Tambakreja, Cilacap, menghadapi ancaman penggusuran akibat klaim sertifikat baru. Dugaan mafia pertanahan membuat pemerintah diminta turun tangan
Viva,Banyumas - Konflik tanah di Kelurahan Tambakreja, Kecamatan Cilacap Selatan, semakin memanas. Puluhan warga yang telah tinggal turun-temurun di atas tanah negara kini menghadapi ancaman penggusuran setelah muncul klaim kepemilikan dari pihak lain.
Situasi ini menjadi lebih kompleks karena kuasa hukum warga menuding adanya praktik mafia pertanahan yang perlu segera diusut. Kuasa hukum warga, Bambang Sri Wahono, menyatakan bahwa kasus ini bukan persoalan sederhana.
Ia menduga terjadi penyalahgunaan sertifikat tanah sehingga tanah negara bisa beralih menjadi kepemilikan pribadi. Bambang dikutip dari akun Instagram @cilacap_info.id mengatakanSejumlah warga RT 05 menempati tanah eigendom ternyata dibuat sertifikat oleh penggugat.
Ini sedang berproses di polisi apakah benar nyaplok dengan jual beli kepada negara atau bukan. Sampai hari ini negara Cilacap diam saja. Maka ini mau tak laporkan ke polisi, yaitu namanya mafia pertanahan.
Bambang menambahkan, warga memiliki dasar hukum yang jelas untuk menempati tanah tersebut. Berdasarkan Keputusan Bupati Cilacap tertanggal 7 Februari 1989, rumah-rumah di Jalan Kokosan RT 05 RW XV mendapat izin pemutihan IMB di atas tanah negara.
Dokumen resmi ini ditandatangani pejabat yang sah atas nama Bupati pada waktu itu. Namun kenyataannya, warga justru terdesak oleh munculnya sertifikat baru dari penggugat. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada warga RT 05, tetapi juga RT 04 yang ikut terdampak. Menurut Bambang, luas lahan yang diklaim penggugat berubah drastis.
Penggugat yang semula memiliki lahan 448 meter persegi tiba-tiba berubah menjadi 4.125 meter persegi. Ini jelas merugikan masyarakat. Resah dengan situasi ini, warga menuntut pemerintah daerah dan DPRD Cilacap turun tangan untuk melindungi hak-hak mereka.
Mereka menekankan bahwa tanah negara tidak seharusnya dimiliki secara pribadi tanpa prosedur yang sah. Kasus ini menjadi sorotan penting karena menyingkap potensi praktik mafia pertanahan yang merugikan masyarakat kecil.
Warga berharap pemerintah dapat segera mengambil langkah tegas, memastikan hak tinggal mereka tidak hilang, dan menegakkan keadilan hukum terkait kepemilikan tanah negara. Transparansi dan penegakan hukum menjadi kunci agar sengketa ini dapat diselesaikan secara adil dan berdampak positif bagi masyarakat