Dari Utang ke Dominasi: Cara China Mengikis Kekuatan India di Asia Selatan
- pexel @karolina-grabowska
Viva, Banyumas - Selama dua dekade terakhir, China membangun strategi yang efektif dalam memperluas pengaruhnya di Asia Selatan, bukan melalui kekuatan militer, tetapi lewat jebakan utang. Negara-negara seperti Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka kini menghadapi konsekuensi dari ketergantungan finansial pada Beijing.
Akibatnya, posisi dominan India sebagai kekuatan utama kawasan kian terguncang. Melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), China menawarkan pinjaman lunak yang menggiurkan untuk proyek infrastruktur. Namun di balik tawaran tersebut tersembunyi konsekuensi jangka panjang: ketergantungan ekonomi, kompromi atas kedaulatan, dan terbatasnya ruang gerak politik luar negeri negara-negara penerima.
Pakistan menjadi contoh paling nyata. Lebih dari 80 persen perangkat militer Pakistan berasal dari Tiongkok, dan utangnya kepada Beijing telah mencapai $28 miliar. Proyek ambisius seperti Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC) sebagian besar menguntungkan Beijing, sementara Islamabad hanya menanggung beban utangnya.
Dilansir dari The Economic Times, Tak jauh berbeda, Bangladesh telah menerima pinjaman lebih dari $6,1 miliar dari Tiongkok, terutama untuk proyek BRI seperti Jembatan Padma, Terowongan Karnaphuli, dan Pelabuhan Payra.
Ketika pemerintahan Hasina jatuh pada 2024, Tiongkok justru mempererat pengaruhnya dengan menawarkan perpanjangan utang dan tambahan pinjaman sebesar $2,1 miliar pada 2025.
Di sisi lain, India—meskipun masih unggul secara geografis, budaya, dan historis—kehilangan momentum. Pendekatannya yang konservatif dan keterbatasan dalam skema pendanaan menjadikan negara-negara tetangga beralih pada alternatif yang lebih "cepat" dari Beijing.
Yang lebih mengkhawatirkan, utang ini bukan sekadar ekonomi. Di Sri Lanka, pelabuhan Hambantota disewakan ke Tiongkok selama 99 tahun setelah gagal membayar utang.