Mantri Bank dan Operator Dinas Kompak Tipu Negara, Lansia yang Meninggal Jadi Korban Kredit Bodong Rp 5,3 M

Tersangka kasus kredit fiktif digiring petugas Kejari
Sumber :
  • Tiktok @kejaksaannegeribondowoso

Viva, Banyumas - Kejaksaan Negeri Bondowoso kembali mengungkap fakta mencengangkan dalam kasus kredit fiktif yang melibatkan bank pelat merah. Dua tersangka baru ditahan, yakni AK, seorang operator dinas, dan AS, mantri bank yang bertugas di Kecamatan Tapen.

Keduanya diduga kompak menjalankan skema penipuan dengan menjadikan para lansia sebagai korban kredit bodong. Pengembangan kasus ini bermula dari penyelidikan sebelumnya yang telah menyeret Kepala Unit bank YA dan mantri RAN pada Oktober 2024.

Dalam pemeriksaan lanjutan, terungkap bahwa AK menjual data 86 lansia kepada AS, termasuk 20 di antaranya yang ternyata sudah meninggal dunia. Data pribadi para lansia itu kemudian digunakan untuk mengajukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) fiktif di Unit Bank Tapen.

Dampaknya, muncul tagihan-tagihan kredit kepada para lansia, padahal mereka tak pernah merasa mengajukan pinjaman. Beberapa keluarga korban bahkan terkejut saat mengetahui nama orang tua mereka terdaftar sebagai debitur aktif.

Kajari Bondowoso, Dzakiyul Fikri, menjelaskan bahwa dari penjualan data tersebut, AK memperoleh keuntungan sebesar Rp 43 juta. Harga tiap data dipatok antara Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu. Sementara itu, AS sebagai mantri bank diduga menjadi eksekutor utama yang mencairkan dan memproses kredit fiktif menggunakan data-data itu.

“Kasus ini bukan hanya soal penyalahgunaan wewenang, tetapi juga menyangkut hak dan martabat para lansia yang datanya disalahgunakan. Ini penipuan terstruktur yang sangat merugikan negara,” tegas Kajari dalam konferensi persnya dikutip dari akun Tiktok Kejaksaan Negeri Bondowoso.

Dari penyelidikan Kejari, total kerugian negara akibat praktik korupsi ini mencapai Rp 5,3 miliar. AK dan AS pun dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Keduanya terancam hukuman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.

Kasus ini menyita perhatian luas masyarakat, terutama karena menyasar kelompok rentan seperti lansia. Banyak pihak menilai, praktik semacam ini tidak hanya merugikan negara, tapi juga mencoreng kepercayaan publik terhadap layanan perbankan dan institusi pemerintah.

Kejaksaan Negeri Bondowoso memastikan penyidikan akan terus berlanjut untuk membongkar keterlibatan pihak lain dalam jaringan ini. Mereka juga mengimbau masyarakat agar lebih waspada terhadap penyalahgunaan data pribadi, terutama keluarga yang memiliki anggota lanjut usia.

Skandal ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya pengawasan data dan pengelolaan kredit agar tidak disalahgunakan untuk tindakan korupsi yang merugikan banyak pihak

Viva, Banyumas - Kejaksaan Negeri Bondowoso kembali mengungkap fakta mencengangkan dalam kasus kredit fiktif yang melibatkan bank pelat merah. Dua tersangka baru ditahan, yakni AK, seorang operator dinas, dan AS, mantri bank yang bertugas di Kecamatan Tapen.

Keduanya diduga kompak menjalankan skema penipuan dengan menjadikan para lansia sebagai korban kredit bodong. Pengembangan kasus ini bermula dari penyelidikan sebelumnya yang telah menyeret Kepala Unit bank YA dan mantri RAN pada Oktober 2024.

Dalam pemeriksaan lanjutan, terungkap bahwa AK menjual data 86 lansia kepada AS, termasuk 20 di antaranya yang ternyata sudah meninggal dunia. Data pribadi para lansia itu kemudian digunakan untuk mengajukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) fiktif di Unit Bank Tapen.

Dampaknya, muncul tagihan-tagihan kredit kepada para lansia, padahal mereka tak pernah merasa mengajukan pinjaman. Beberapa keluarga korban bahkan terkejut saat mengetahui nama orang tua mereka terdaftar sebagai debitur aktif.

Kajari Bondowoso, Dzakiyul Fikri, menjelaskan bahwa dari penjualan data tersebut, AK memperoleh keuntungan sebesar Rp 43 juta. Harga tiap data dipatok antara Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu. Sementara itu, AS sebagai mantri bank diduga menjadi eksekutor utama yang mencairkan dan memproses kredit fiktif menggunakan data-data itu.

“Kasus ini bukan hanya soal penyalahgunaan wewenang, tetapi juga menyangkut hak dan martabat para lansia yang datanya disalahgunakan. Ini penipuan terstruktur yang sangat merugikan negara,” tegas Kajari dalam konferensi persnya dikutip dari akun Tiktok Kejaksaan Negeri Bondowoso.

Dari penyelidikan Kejari, total kerugian negara akibat praktik korupsi ini mencapai Rp 5,3 miliar. AK dan AS pun dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Keduanya terancam hukuman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.

Kasus ini menyita perhatian luas masyarakat, terutama karena menyasar kelompok rentan seperti lansia. Banyak pihak menilai, praktik semacam ini tidak hanya merugikan negara, tapi juga mencoreng kepercayaan publik terhadap layanan perbankan dan institusi pemerintah.

Kejaksaan Negeri Bondowoso memastikan penyidikan akan terus berlanjut untuk membongkar keterlibatan pihak lain dalam jaringan ini. Mereka juga mengimbau masyarakat agar lebih waspada terhadap penyalahgunaan data pribadi, terutama keluarga yang memiliki anggota lanjut usia.

Skandal ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya pengawasan data dan pengelolaan kredit agar tidak disalahgunakan untuk tindakan korupsi yang merugikan banyak pihak