Terungkap! Ngapak Ternyata Lebih Tua dari Jawa Wetan? Ini Fakta Mengejutkan Asal Usul Bahasa Jawa yang Jarang Dibahas!
- Tangkap Layar YouTube/INVOICE INDONESIA
VIVA, Banyumas – Bahasa Jawa ibarat sebuah pohon besar dengan cabang yang rimbun.
Dari ujung barat Pulau Jawa hingga pesisir timur, ragam dialeknya tumbuh dengan ciri yang sangat khas.
Salah satu perdebatan menarik yang kerap muncul adalah soal siapa yang lebih tua dan lebih “asli”, Bahasa Jawa Banyumasan (ngapak) atau Jawa Wetan.
Perbedaan pelafalan, kosakata, hingga tata cara berbahasa bukan hanya sekadar variasi lidah, tetapi juga jejak sejarah panjang yang membentuk identitas budaya masyarakat Jawa.
Apakah ngapak benar-benar warisan paling purba yang melestarikan Jawa kuno? Ataukah Jawa Wetan justru hasil evolusi alami zaman yang dinamis?
Dilansir dari YouTube INVOICE INDONESIA, berikut asal-usul, ciri khas, dan persepsi di balik dua dialek besar yang sama-sama mewarnai kekayaan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa lahir dari rumpun Austronesia dan berkembang sejak abad ke-8, terutama pada masa Kerajaan Medang dan Mataram Kuno.
Bukti tertua seperti Prasasti Sukabumi (804 M) dan Prasasti Balitung (907 M) menggunakan bahasa Jawa Kuno atau kawi. Pada masa itu, belum dikenal tingkatan bahasa krama dan ngoko.
Semua penutur menggunakan bentuk kata yang relatif setara, sebuah ciri yang hari ini masih bertahan dalam dialek ngapak.
Banyumasan: Penjaga Warisan Lama
Bahasa Jawa Banyumasan atau ngapak sering disebut sebagai varian paling konservatif.
Fonologi A tetap dilafalkan A (contoh: bapak lunga menyang pasar), kosakata klasik seperti embuh dan urip tetap lestari, serta tidak mengenal aturan tingkatan bahasa secara ketat.
Karena wilayah Banyumas relatif terisolasi dari pusat kerajaan, ngapak dianggap mempertahankan bentuk Jawa pra Mataram lebih murni dibandingkan dialek lain.
Jawa Wetan: Fleksibel dan Dinamis
Sebaliknya, Jawa Wetan berkembang dengan pengaruh kuat Majapahit dan percampuran budaya lokal.
Ciri khasnya antara lain pelafalan A menjadi O (contoh: bapak lungo), logat keras dan lugas, serta penggunaan ungkapan ekspresif seperti kok iso to.
Meski kesannya tegas, masyarakat Jawa Timur tetap mengenal sopan santun bahasa, hanya saja penggunaannya lebih longgar.
Mana yang Lebih Tua?
Menurut ahli bahasa Prof. Sudaryanto, Banyumasan memang lebih dekat dengan struktur Jawa kuno, namun tidak berarti Jawa Wetan kurang asli.
Perbedaan itu hasil sejarah panjang, modernisasi, dan interaksi budaya yang sama-sama berharga.
Merayakan Keberagaman Bahasa Jawa
Ngapak, medok, alus, ceplas-ceplos, semuanya bagian dari satu akar yang sama: bahasa Jawa.
Alih-alih membandingkan siapa yang lebih asli, lebih baik kita merayakan kekayaan ragam yang menjadi jati diri masyarakat Jawa hari ini.