Bikin TV Sendiri, Masuk Penjara: Kisah Tragis Pak Kusrin yang Bikin Publik Geram Hanya Tak Memiliki Izin

Ilustrasi Pak Kusrin saat merakit televisi di bengkel sederhananya
Sumber :
  • pexel @Huỳnh Đạt

Viva, Banyumas - Kisah tragis menimpa Pak Kusrin, seorang pria sederhana asal Kampung Wonosari, Karanganyar, Jawa Tengah, yang mencoba bertahan hidup lewat keahliannya merakit televisi. Namun alih-alih mendapat dukungan, ia justru harus berurusan dengan hukum.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 2015, ketika Polda Jawa Tengah menggerebek tempat usahanya. Kusrin didakwa melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian karena merakit televisi tanpa memiliki izin resmi sebagai produsen.

Ia divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun dan denda Rp 2,5 juta oleh pengadilan. Yang membuat publik makin geram adalah keputusan Kejaksaan Negeri Karanganyar yang memusnahkan seluruh televisi rakitan Kusrin.

Dilansir dari rumpi_gosip, Langkah ini memicu kemarahan masyarakat dan melahirkan petisi online di Change.org yang ditandatangani hampir 30.000 orang sebagai bentuk solidaritas terhadap Kusrin. Kusrin bukan pelaku kejahatan, ia hanyalah perakit otodidak yang belajar secara mandiri demi menghidupi keluarga.

Ia bahkan mampu menjual TV rakitan miliknya ke berbagai daerah dengan harga terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah. Sayangnya, semangat dan kreativitasnya berbenturan dengan aturan formal yang tidak mengenal fleksibilitas. Kasus ini menyentuh hati banyak orang.

Banyak yang menilai bahwa Kusrin adalah korban dari kekakuan regulasi perizinan industri, yang tidak memberi ruang bagi pelaku usaha kecil dengan latar belakang non-formal.

Sejumlah aktivis dan pengamat hukum menyayangkan minimnya pendekatan edukatif dari pemerintah, yang seharusnya bisa membina Kusrin agar legal dan berkembang, bukan justru memberangus usaha kecilnya.

Di sisi lain, pemerintah berdalih bahwa peraturan harus ditegakkan untuk menjaga standar kualitas dan keselamatan produk industri. Namun argumen ini terasa timpang ketika melihat fakta bahwa produk Kusrin digunakan masyarakat tanpa keluhan berarti.

Kasus Pak Kusrin menjadi simbol paradoks antara kreativitas rakyat kecil dan belenggu birokrasi formal. Banyak pihak menilai bahwa regulasi industri harus direvisi agar lebih inklusif dan memberdayakan, bukan mematikan inovasi.

Kini, meski sudah berlalu, kisah Kusrin tetap relevan dalam diskusi soal kebijakan industri nasional. Ia mengingatkan kita bahwa hukum seharusnya mengayomi dan membina, bukan hanya menghukum.

Perjalanan hidupnya menjadi pelajaran penting tentang bagaimana negara seharusnya berpihak kepada rakyat kecil yang ingin maju

Viva, Banyumas - Kisah tragis menimpa Pak Kusrin, seorang pria sederhana asal Kampung Wonosari, Karanganyar, Jawa Tengah, yang mencoba bertahan hidup lewat keahliannya merakit televisi. Namun alih-alih mendapat dukungan, ia justru harus berurusan dengan hukum.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 2015, ketika Polda Jawa Tengah menggerebek tempat usahanya. Kusrin didakwa melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian karena merakit televisi tanpa memiliki izin resmi sebagai produsen.

Ia divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun dan denda Rp 2,5 juta oleh pengadilan. Yang membuat publik makin geram adalah keputusan Kejaksaan Negeri Karanganyar yang memusnahkan seluruh televisi rakitan Kusrin.

Dilansir dari rumpi_gosip, Langkah ini memicu kemarahan masyarakat dan melahirkan petisi online di Change.org yang ditandatangani hampir 30.000 orang sebagai bentuk solidaritas terhadap Kusrin. Kusrin bukan pelaku kejahatan, ia hanyalah perakit otodidak yang belajar secara mandiri demi menghidupi keluarga.

Ia bahkan mampu menjual TV rakitan miliknya ke berbagai daerah dengan harga terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah. Sayangnya, semangat dan kreativitasnya berbenturan dengan aturan formal yang tidak mengenal fleksibilitas. Kasus ini menyentuh hati banyak orang.

Banyak yang menilai bahwa Kusrin adalah korban dari kekakuan regulasi perizinan industri, yang tidak memberi ruang bagi pelaku usaha kecil dengan latar belakang non-formal.

Sejumlah aktivis dan pengamat hukum menyayangkan minimnya pendekatan edukatif dari pemerintah, yang seharusnya bisa membina Kusrin agar legal dan berkembang, bukan justru memberangus usaha kecilnya.

Di sisi lain, pemerintah berdalih bahwa peraturan harus ditegakkan untuk menjaga standar kualitas dan keselamatan produk industri. Namun argumen ini terasa timpang ketika melihat fakta bahwa produk Kusrin digunakan masyarakat tanpa keluhan berarti.

Kasus Pak Kusrin menjadi simbol paradoks antara kreativitas rakyat kecil dan belenggu birokrasi formal. Banyak pihak menilai bahwa regulasi industri harus direvisi agar lebih inklusif dan memberdayakan, bukan mematikan inovasi.

Kini, meski sudah berlalu, kisah Kusrin tetap relevan dalam diskusi soal kebijakan industri nasional. Ia mengingatkan kita bahwa hukum seharusnya mengayomi dan membina, bukan hanya menghukum.

Perjalanan hidupnya menjadi pelajaran penting tentang bagaimana negara seharusnya berpihak kepada rakyat kecil yang ingin maju