Klarifikasi Dedy Nur Palakka Usai Sebut Jokowi Layak Jadi Nabi, Ini Penjelasannya

Dedy Nur Palakka klarifikasi ucapan soal Jokowi dan nabi
Sumber :
  • instagram @jokowi

Viva, Banyumas - Pernyataan Dedy Nur Palakka, salah satu kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), menimbulkan kegaduhan publik setelah ia menyebut Jokowi sebagai sosok yang “layak menjadi nabi”. Ungkapan tersebut disampaikan melalui akun X miliknya pada Selasa, 10 Juni 2025. Tak butuh waktu lama, pernyataan itu menyebar luas di media sosial dan memicu reaksi keras dari masyarakat serta sejumlah tokoh agama.

Setelah menjadi viral dan menimbulkan pro-kontra, Dedy Nur Palakka memberikan klarifikasi terbuka atas ucapannya tentang Jokowi. Ia menekankan bahwa maksud dari menyebut nabi bukanlah dalam konteks keagamaan literal, melainkan sebagai bentuk apresiasi terhadap karakter kepemimpinan dan sikap kenegarawanan Jokowi.

Namun, warganet tetap menyoroti penyampaian tersebut yang dianggap sensitif dan berisiko memunculkan kesalahpahaman. Melalui pernyataan resmi X pribadinya, Dedy Nur Palakka mengakui kekeliruannya dan menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Ia menegaskan bahwa ucapannya tentang Jokowi layak menjadi nabi adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili sikap PSI.

Dengan klarifikasi ini, ia berharap agar polemik segera mereda dan masyarakat dapat kembali membangun ruang diskusi yang sehat dan saling menghargai.

Menanggapi reaksi keras publik, Dedy Nur Palakka akhirnya menyampaikan klarifikasi resmi pada Kamis, 12 Juni 2025.

Melalui unggahannya di akun yang sama, Dedy menegaskan bahwa pernyataan soal Jokowi layak menjadi nabi adalah pandangan pribadi, bukan representasi sikap resmi dari PSI secara kelembagaan.

Dalam klarifikasinya, Dedy Nur Palakka menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Indonesia, khususnya kepada umat beragama yang merasa terganggu dengan pernyataan tersebut.

Ia juga mengakui bahwa dirinya telah mendapatkan teguran secara internal dari DPW PSI Bali dan berkomitmen untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pandangan ke publik.

“Saya mencabut pernyataan tersebut demi menjaga ruang dialog yang sehat dan saling menghargai,” tulisnya di akun X @DedynurPalakka pada 14 Juni 2025.

Lebih lanjut, Dedy mencoba menjelaskan bahwa penyebutan “nabi” dalam pernyataannya adalah bentuk ungkapan simbolik dalam ranah tafsir sosial dan filsafat, bukan klaim literal keagamaan.

Ia mencontohkan tokoh seperti Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela yang kerap disebut memiliki “sifat kenabian” karena integritas dan keteladanan mereka. Meski sudah menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf, reaksi masyarakat masih terpecah.

Sebagian netizen menilai Dedy telah melewati batas dalam menyampaikan pujian, sementara yang lain menerima penjelasannya sebagai bentuk tanggung jawab pribadi.

Kontroversi ini menjadi pengingat pentingnya menjaga sensitivitas dalam menyampaikan pendapat, terutama terkait hal-hal yang bersinggungan dengan agama dan figur publik. Kasus ini juga menegaskan bahwa ruang digital, meski bebas, tetap membutuhkan etika komunikasi.

Klarifikasi Dedy Nur Palakka menjadi contoh bahwa kebebasan berekspresi harus dibarengi kesadaran akan dampak sosial yang ditimbulkan, terutama dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia

Viva, Banyumas - Pernyataan Dedy Nur Palakka, salah satu kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), menimbulkan kegaduhan publik setelah ia menyebut Jokowi sebagai sosok yang “layak menjadi nabi”. Ungkapan tersebut disampaikan melalui akun X miliknya pada Selasa, 10 Juni 2025. Tak butuh waktu lama, pernyataan itu menyebar luas di media sosial dan memicu reaksi keras dari masyarakat serta sejumlah tokoh agama.

Setelah menjadi viral dan menimbulkan pro-kontra, Dedy Nur Palakka memberikan klarifikasi terbuka atas ucapannya tentang Jokowi. Ia menekankan bahwa maksud dari menyebut nabi bukanlah dalam konteks keagamaan literal, melainkan sebagai bentuk apresiasi terhadap karakter kepemimpinan dan sikap kenegarawanan Jokowi.

Namun, warganet tetap menyoroti penyampaian tersebut yang dianggap sensitif dan berisiko memunculkan kesalahpahaman. Melalui pernyataan resmi X pribadinya, Dedy Nur Palakka mengakui kekeliruannya dan menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Ia menegaskan bahwa ucapannya tentang Jokowi layak menjadi nabi adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili sikap PSI.

Dengan klarifikasi ini, ia berharap agar polemik segera mereda dan masyarakat dapat kembali membangun ruang diskusi yang sehat dan saling menghargai.

Menanggapi reaksi keras publik, Dedy Nur Palakka akhirnya menyampaikan klarifikasi resmi pada Kamis, 12 Juni 2025.

Melalui unggahannya di akun yang sama, Dedy menegaskan bahwa pernyataan soal Jokowi layak menjadi nabi adalah pandangan pribadi, bukan representasi sikap resmi dari PSI secara kelembagaan.

Dalam klarifikasinya, Dedy Nur Palakka menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Indonesia, khususnya kepada umat beragama yang merasa terganggu dengan pernyataan tersebut.

Ia juga mengakui bahwa dirinya telah mendapatkan teguran secara internal dari DPW PSI Bali dan berkomitmen untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pandangan ke publik.

“Saya mencabut pernyataan tersebut demi menjaga ruang dialog yang sehat dan saling menghargai,” tulisnya di akun X @DedynurPalakka pada 14 Juni 2025.

Lebih lanjut, Dedy mencoba menjelaskan bahwa penyebutan “nabi” dalam pernyataannya adalah bentuk ungkapan simbolik dalam ranah tafsir sosial dan filsafat, bukan klaim literal keagamaan.

Ia mencontohkan tokoh seperti Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela yang kerap disebut memiliki “sifat kenabian” karena integritas dan keteladanan mereka. Meski sudah menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf, reaksi masyarakat masih terpecah.

Sebagian netizen menilai Dedy telah melewati batas dalam menyampaikan pujian, sementara yang lain menerima penjelasannya sebagai bentuk tanggung jawab pribadi.

Kontroversi ini menjadi pengingat pentingnya menjaga sensitivitas dalam menyampaikan pendapat, terutama terkait hal-hal yang bersinggungan dengan agama dan figur publik. Kasus ini juga menegaskan bahwa ruang digital, meski bebas, tetap membutuhkan etika komunikasi.

Klarifikasi Dedy Nur Palakka menjadi contoh bahwa kebebasan berekspresi harus dibarengi kesadaran akan dampak sosial yang ditimbulkan, terutama dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia