Alasan Google Gagal di Era Muhadjir tapi Lolos Saat Nadiem Makarim Perihal Chromebook

Perbedaan sikap Muhadjir dan Nadiem soal Chromebook
Sumber :
  • instagram @nadiem_makarim__

Kasus Chromebook bongkar fakta: Google gagal melobi Muhadjir Effendy, tetapi berhasil saat Nadiem Makarim menjabat. Bagaimana perbedaan pendekatan dua menteri ini?

Viva, Banyumas - Kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) periode 2019–2022 semakin menyeret nama besar. Mantan Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Fakta baru yang terungkap adalah bagaimana pihak Google sebelumnya pernah melobi Mendikbudristek sebelum Nadiem, yakni Muhadjir Effendy, namun gagal. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Nurcahyo Jungkung Madyo, menjelaskan bahwa Google mengajukan proposal penggunaan Chromebook sebagai perangkat ajar.

Namun, Muhadjir menolak karena hasil uji coba menunjukkan perangkat itu tidak efektif, terutama untuk wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).

“Surat Google masuk pada masa Muhadjir, tetapi tidak pernah direspons karena dianggap tidak sesuai kebutuhan pendidikan nasional,” kata Nurcahyo dalam konferensi pers, Kamis (4/9/2025) di Jakarta. Situasi berubah saat Nadiem Makarim menjabat sebagai Mendikbudristek.

Menurut penyidik, beberapa pertemuan antara Nadiem dan pihak Google terjadi pada Februari hingga April 2020. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan penggunaan ChromeOS dan Chrome Device Management (CDM) dalam proyek pengadaan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Padahal, kajian resmi soal Chromebook di Kemendikbudristek baru terbit pada Juni 2020.

Fakta ini memperkuat dugaan adanya rekayasa proyek yang diarahkan untuk memenangkan produk tertentu.

“Untuk meloloskan Chromebook, Nadiem menjawab surat Google dan membuka peluang mereka masuk dalam proyek pengadaan,” tambah Nurcahyo.

Kasus ini memperlihatkan perbedaan signifikan antara Muhadjir Effendy dan Nadiem Makarim. Muhadjir yang berlatar belakang akademisi lebih berhati-hati dan menolak jika produk tidak sesuai kebutuhan di lapangan.

Sementara Nadiem, dengan latar belakang sebagai pendiri startup teknologi, justru membuka ruang bagi perusahaan global masuk ke sistem pendidikan nasional. Sayangnya, keputusan tersebut kini berujung pada tuduhan korupsi pengadaan Chromebook yang merugikan negara.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah digitalisasi pendidikan benar-benar untuk kepentingan siswa, atau ada kepentingan korporasi di baliknya? Transparansi dan kajian kebutuhan seharusnya menjadi dasar setiap kebijakan, bukan lobi bisnis.

Kini, publik menunggu langkah lanjutan Kejagung dalam mengusut peran berbagai pihak, termasuk kemungkinan keterlibatan pihak luar negeri

Kasus Chromebook bongkar fakta: Google gagal melobi Muhadjir Effendy, tetapi berhasil saat Nadiem Makarim menjabat. Bagaimana perbedaan pendekatan dua menteri ini?

Viva, Banyumas - Kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) periode 2019–2022 semakin menyeret nama besar. Mantan Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Fakta baru yang terungkap adalah bagaimana pihak Google sebelumnya pernah melobi Mendikbudristek sebelum Nadiem, yakni Muhadjir Effendy, namun gagal. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Nurcahyo Jungkung Madyo, menjelaskan bahwa Google mengajukan proposal penggunaan Chromebook sebagai perangkat ajar.

Namun, Muhadjir menolak karena hasil uji coba menunjukkan perangkat itu tidak efektif, terutama untuk wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).

“Surat Google masuk pada masa Muhadjir, tetapi tidak pernah direspons karena dianggap tidak sesuai kebutuhan pendidikan nasional,” kata Nurcahyo dalam konferensi pers, Kamis (4/9/2025) di Jakarta. Situasi berubah saat Nadiem Makarim menjabat sebagai Mendikbudristek.

Menurut penyidik, beberapa pertemuan antara Nadiem dan pihak Google terjadi pada Februari hingga April 2020. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan penggunaan ChromeOS dan Chrome Device Management (CDM) dalam proyek pengadaan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Padahal, kajian resmi soal Chromebook di Kemendikbudristek baru terbit pada Juni 2020.

Fakta ini memperkuat dugaan adanya rekayasa proyek yang diarahkan untuk memenangkan produk tertentu.

“Untuk meloloskan Chromebook, Nadiem menjawab surat Google dan membuka peluang mereka masuk dalam proyek pengadaan,” tambah Nurcahyo.

Kasus ini memperlihatkan perbedaan signifikan antara Muhadjir Effendy dan Nadiem Makarim. Muhadjir yang berlatar belakang akademisi lebih berhati-hati dan menolak jika produk tidak sesuai kebutuhan di lapangan.

Sementara Nadiem, dengan latar belakang sebagai pendiri startup teknologi, justru membuka ruang bagi perusahaan global masuk ke sistem pendidikan nasional. Sayangnya, keputusan tersebut kini berujung pada tuduhan korupsi pengadaan Chromebook yang merugikan negara.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah digitalisasi pendidikan benar-benar untuk kepentingan siswa, atau ada kepentingan korporasi di baliknya? Transparansi dan kajian kebutuhan seharusnya menjadi dasar setiap kebijakan, bukan lobi bisnis.

Kini, publik menunggu langkah lanjutan Kejagung dalam mengusut peran berbagai pihak, termasuk kemungkinan keterlibatan pihak luar negeri