Siswi SMP Beragama Hindu di Klaten Gagal Masuk Tim Aubade Gara Gara Aturan Hijab, Kini Trauma Sekolah

Ilustrasi Siswi SMP beragam Hindu Klaten gagal tampil di aubade
Sumber :
  • pexel @pixabay

Ayodya, siswi SMPN 2 Klaten, tersingkir dari tim aubade diduga karena aturan hijab. Kasus ini menimbulkan trauma, protes orang tua, dan kritik terhadap praktik diskriminasi di sekolah

Viva, Banyumas - Kasus diskriminasi di dunia pendidikan kembali mencuat di Kabupaten Klaten. Seorang siswi berprestasi, Ayodya, gagal masuk tim aubade SMPN 2 Klaten hanya karena diduga tidak mengenakan hijab.

Padahal, ia sudah melalui proses seleksi ketat dan lolos berkat kemampuan vokalnya yang kuat serta pengalaman tampil di berbagai lomba seni. Keputusan tersebut sontak memicu polemik.

Orang tua Ayodya menilai sekolah tidak adil karena menjadikan hijab sebagai syarat tambahan yang tidak tertulis dalam regulasi resmi.

Menurut mereka, syarat tersebut tidak hanya melanggar prinsip pendidikan inklusif, tetapi juga mencederai hak anak untuk berpartisipasi tanpa diskriminasi. Dikutip dari laman Instagram @boyolalikita, sang ibu mengatakan Sejak kecil Ayodya sudah berlatih keras. Dia pernah juara lomba menyanyi tingkat kabupaten.

Namun, saat impiannya tampil di aubade sekolah pupus karena aturan hijab, dia sangat terpukul. Trauma akibat keputusan ini cukup berat.

Ayodya dikabarkan enggan berangkat sekolah karena merasa diperlakukan tidak adil. Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa kasus diskriminasi di sekolah bisa berdampak pada kesehatan mental anak didik.

Dinas Pendidikan Klaten pun diminta turun tangan untuk mengklarifikasi kebijakan ini. Sebab, jika dibiarkan, praktik semacam ini berpotensi menciptakan ketidakadilan sistemik dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan.

Kasus Ayodya bukanlah yang pertama. Beberapa daerah di Indonesia juga pernah menghadapi polemik serupa terkait aturan seragam berbasis agama. Pemerintah pusat melalui Kemendikbudristek sebelumnya telah menegaskan bahwa sekolah negeri tidak boleh memaksakan aturan berpakaian yang diskriminatif.

Kini publik menunggu langkah tegas dari Pemkab Klaten agar kasus serupa tidak terulang. Ayodya dan siswi lain yang mengalami diskriminasi memiliki hak yang sama untuk berkembang, tanpa dipaksa tunduk pada aturan yang tidak adil.

Kasus ini menjadi cermin bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam mewujudkan pendidikan yang benar-benar inklusif. Dunia pendidikan seharusnya menjadi ruang aman untuk semua anak, tanpa terkecuali

Ayodya, siswi SMPN 2 Klaten, tersingkir dari tim aubade diduga karena aturan hijab. Kasus ini menimbulkan trauma, protes orang tua, dan kritik terhadap praktik diskriminasi di sekolah

Viva, Banyumas - Kasus diskriminasi di dunia pendidikan kembali mencuat di Kabupaten Klaten. Seorang siswi berprestasi, Ayodya, gagal masuk tim aubade SMPN 2 Klaten hanya karena diduga tidak mengenakan hijab.

Padahal, ia sudah melalui proses seleksi ketat dan lolos berkat kemampuan vokalnya yang kuat serta pengalaman tampil di berbagai lomba seni. Keputusan tersebut sontak memicu polemik.

Orang tua Ayodya menilai sekolah tidak adil karena menjadikan hijab sebagai syarat tambahan yang tidak tertulis dalam regulasi resmi.

Menurut mereka, syarat tersebut tidak hanya melanggar prinsip pendidikan inklusif, tetapi juga mencederai hak anak untuk berpartisipasi tanpa diskriminasi. Dikutip dari laman Instagram @boyolalikita, sang ibu mengatakan Sejak kecil Ayodya sudah berlatih keras. Dia pernah juara lomba menyanyi tingkat kabupaten.

Namun, saat impiannya tampil di aubade sekolah pupus karena aturan hijab, dia sangat terpukul. Trauma akibat keputusan ini cukup berat.

Ayodya dikabarkan enggan berangkat sekolah karena merasa diperlakukan tidak adil. Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa kasus diskriminasi di sekolah bisa berdampak pada kesehatan mental anak didik.

Dinas Pendidikan Klaten pun diminta turun tangan untuk mengklarifikasi kebijakan ini. Sebab, jika dibiarkan, praktik semacam ini berpotensi menciptakan ketidakadilan sistemik dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan.

Kasus Ayodya bukanlah yang pertama. Beberapa daerah di Indonesia juga pernah menghadapi polemik serupa terkait aturan seragam berbasis agama. Pemerintah pusat melalui Kemendikbudristek sebelumnya telah menegaskan bahwa sekolah negeri tidak boleh memaksakan aturan berpakaian yang diskriminatif.

Kini publik menunggu langkah tegas dari Pemkab Klaten agar kasus serupa tidak terulang. Ayodya dan siswi lain yang mengalami diskriminasi memiliki hak yang sama untuk berkembang, tanpa dipaksa tunduk pada aturan yang tidak adil.

Kasus ini menjadi cermin bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam mewujudkan pendidikan yang benar-benar inklusif. Dunia pendidikan seharusnya menjadi ruang aman untuk semua anak, tanpa terkecuali