DPR Sepakat Petugas Haji Non Muslim Boleh di Daerah Minoritas, Begini Aturannya
- pexel @asapjpeg
Viva, Banyumas - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama pemerintah resmi menyepakati perubahan aturan mengenai syarat keanggotaan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) atau petugas haji. Dalam Rapat Panja Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (22/8/2025), disetujui bahwa petugas haji di daerah minoritas muslim tidak diwajibkan beragama Islam.
Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Bambang Eko Suhariyanto menjelaskan, kebijakan ini hanya berlaku di embarkasi wilayah minoritas, seperti Manado atau Papua. Menurutnya, kebutuhan tenaga medis maupun petugas teknis di embarkasi bisa berasal dari kalangan non-muslim, selama tidak terkait langsung dengan ritual ibadah haji di Tanah Haram.
“Jadi embarkasi itu misalnya di daerah minoritas muslim, petugasnya bisa macam-macam. Dokter atau tenaga kesehatan bisa saja non-muslim. Tapi untuk di Tanah Haram, tetap harus muslim,” ujar Bambang dikutip dari laman Youtube DPR RI.
Keputusan ini dinilai sebagai bentuk penyelarasan regulasi dengan praktik yang sudah berlangsung di lapangan. Menurut Bambang, selama ini pun ada tenaga non-muslim yang terlibat membantu di embarkasi, terutama pada aspek pelayanan kesehatan dan teknis keberangkatan.
Namun, pasal dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU sebelumnya masih mensyaratkan seluruh petugas haji wajib beragama Islam.
“Kalau syarat itu dipaksakan, justru akan menyulitkan, terutama di daerah minoritas. Karena keterbatasan sumber daya manusia muslim di wilayah tersebut,” tambah Bambang. DPR RI menyepakati penghapusan syarat tersebut agar aturan lebih realistis. Meski begitu, masyarakat tetap dipastikan bahwa petugas di Tanah Haram, termasuk yang mendampingi jemaah di Mekkah dan Madinah, seluruhnya beragama Islam sesuai syariat. Keputusan ini pun menimbulkan beragam tanggapan.
Sebagian pihak menilai kebijakan ini tepat karena menyederhanakan proses penyelenggaraan haji di daerah minoritas. Di sisi lain, ada pula yang masih mempertanyakan konsistensi aturan tersebut dengan semangat penyelenggaraan ibadah haji. Namun demikian, pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini lebih menekankan aspek teknis dan administratif, bukan menyangkut ibadah langsung. Dengan begitu, pelayanan jemaah haji tetap berjalan lancar, tanpa mengurangi nilai sakralitas ibadah.
Langkah DPR dan pemerintah ini sekaligus menunjukkan upaya untuk terus menyesuaikan regulasi penyelenggaraan haji dengan dinamika sosial di Indonesia. Selain itu, keputusan ini diharapkan dapat memperkuat pelayanan haji, terutama di daerah dengan populasi muslim yang lebih sedikit. Ke depan, pembahasan RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah akan berlanjut hingga tahap pengesahan.
Jika disetujui secara penuh, maka aturan baru ini akan menjadi landasan hukum resmi dalam pelaksanaan haji di Indonesia. Dengan adanya penyesuaian ini, pemerintah berharap jemaah haji tetap mendapatkan pelayanan maksimal, tanpa hambatan administratif terkait syarat petugas di embarkasi
Viva, Banyumas - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama pemerintah resmi menyepakati perubahan aturan mengenai syarat keanggotaan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) atau petugas haji. Dalam Rapat Panja Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (22/8/2025), disetujui bahwa petugas haji di daerah minoritas muslim tidak diwajibkan beragama Islam.
Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Bambang Eko Suhariyanto menjelaskan, kebijakan ini hanya berlaku di embarkasi wilayah minoritas, seperti Manado atau Papua. Menurutnya, kebutuhan tenaga medis maupun petugas teknis di embarkasi bisa berasal dari kalangan non-muslim, selama tidak terkait langsung dengan ritual ibadah haji di Tanah Haram.
“Jadi embarkasi itu misalnya di daerah minoritas muslim, petugasnya bisa macam-macam. Dokter atau tenaga kesehatan bisa saja non-muslim. Tapi untuk di Tanah Haram, tetap harus muslim,” ujar Bambang dikutip dari laman Youtube DPR RI.
Keputusan ini dinilai sebagai bentuk penyelarasan regulasi dengan praktik yang sudah berlangsung di lapangan. Menurut Bambang, selama ini pun ada tenaga non-muslim yang terlibat membantu di embarkasi, terutama pada aspek pelayanan kesehatan dan teknis keberangkatan.
Namun, pasal dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU sebelumnya masih mensyaratkan seluruh petugas haji wajib beragama Islam.
“Kalau syarat itu dipaksakan, justru akan menyulitkan, terutama di daerah minoritas. Karena keterbatasan sumber daya manusia muslim di wilayah tersebut,” tambah Bambang. DPR RI menyepakati penghapusan syarat tersebut agar aturan lebih realistis. Meski begitu, masyarakat tetap dipastikan bahwa petugas di Tanah Haram, termasuk yang mendampingi jemaah di Mekkah dan Madinah, seluruhnya beragama Islam sesuai syariat. Keputusan ini pun menimbulkan beragam tanggapan.
Sebagian pihak menilai kebijakan ini tepat karena menyederhanakan proses penyelenggaraan haji di daerah minoritas. Di sisi lain, ada pula yang masih mempertanyakan konsistensi aturan tersebut dengan semangat penyelenggaraan ibadah haji. Namun demikian, pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini lebih menekankan aspek teknis dan administratif, bukan menyangkut ibadah langsung. Dengan begitu, pelayanan jemaah haji tetap berjalan lancar, tanpa mengurangi nilai sakralitas ibadah.
Langkah DPR dan pemerintah ini sekaligus menunjukkan upaya untuk terus menyesuaikan regulasi penyelenggaraan haji dengan dinamika sosial di Indonesia. Selain itu, keputusan ini diharapkan dapat memperkuat pelayanan haji, terutama di daerah dengan populasi muslim yang lebih sedikit. Ke depan, pembahasan RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah akan berlanjut hingga tahap pengesahan.
Jika disetujui secara penuh, maka aturan baru ini akan menjadi landasan hukum resmi dalam pelaksanaan haji di Indonesia. Dengan adanya penyesuaian ini, pemerintah berharap jemaah haji tetap mendapatkan pelayanan maksimal, tanpa hambatan administratif terkait syarat petugas di embarkasi