Sejarah Kelam Panjat Pinang: Dari Hiburan Penjajah Jadi Simbol Kemerdekaan Indonesia
- pexel @ahmad syahrir
Viva, Banyumas - Setiap perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia, lomba panjat pinang hampir tak pernah absen. Sorak-sorai penonton, tawa saat peserta terpeleset, hingga kegembiraan saat hadiah berhasil diraih, menjadikan panjat pinang sebagai simbol kemeriahan kemerdekaan.
Namun, di balik keceriaan itu, tradisi ini menyimpan sejarah kelam sejak masa penjajahan Belanda. Dilansir dari berbagai sumber, panjat pinang pertama kali diperkenalkan pada masa kolonial Belanda.
Perlombaan ini biasanya digelar pada tanggal 31 Agustus untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Saat itu, hanya orang pribumi yang boleh ikut memanjat batang pinang yang telah dilumuri minyak licin, sementara orang-orang Belanda menonton dari bawah sambil menertawakan perjuangan mereka.
Hadiah yang diperebutkan juga tak main-main, mulai dari bahan makanan seperti tepung, kopi, gula, keju, hingga pakaian—barang-barang mewah bagi rakyat pribumi kala itu. Namun untuk mendapatkannya, mereka harus bersusah payah memanjat batang pinang setinggi lima hingga sepuluh meter.
Perlombaan ini lebih dipandang sebagai hiburan bagi tuan tanah ketimbang bentuk penghargaan. Menurut Fandy Hutari dalam buku Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal, pada era 1930-an panjat pinang bahkan sering digelar dalam pesta pernikahan, kenaikan jabatan, hingga hajatan Belanda lainnya.
Artinya, lomba ini sarat dengan nuansa merendahkan rakyat pribumi. Pasca kemerdekaan 1945, panjat pinang berubah makna. Dari simbol ejekan, ia menjelma menjadi lomba rakyat yang penuh semangat kebersamaan.
Hadiah kini dikumpulkan dari panitia lokal, semua kalangan boleh ikut, dan sorakan penonton bernuansa dukungan, bukan lagi cemoohan. Panjat pinang akhirnya dimaknai sebagai simbol perjuangan.
Untuk mencapai puncak, peserta harus membangun kerja sama tim, menyusun strategi, dan pantang menyerah meski berkali-kali jatuh. Filosofi ini sejalan dengan semangat kemerdekaan Indonesia yang diperoleh lewat pengorbanan dan kebersamaan.
Kini, panjat pinang bukan hanya sekadar lomba memperebutkan hadiah, melainkan juga sarat nilai kehidupan:
Kerja sama tim: Tak ada satu orang yang bisa menang sendirian.
Pantang menyerah: Meski jatuh, peserta akan terus mencoba.
Strategi dan koordinasi: Tim harus membentuk piramida manusia yang kokoh.
Semua nilai itu menjadi cermin semangat bangsa Indonesia yang selalu bersatu dalam keberagaman
Viva, Banyumas - Setiap perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia, lomba panjat pinang hampir tak pernah absen. Sorak-sorai penonton, tawa saat peserta terpeleset, hingga kegembiraan saat hadiah berhasil diraih, menjadikan panjat pinang sebagai simbol kemeriahan kemerdekaan.
Namun, di balik keceriaan itu, tradisi ini menyimpan sejarah kelam sejak masa penjajahan Belanda. Dilansir dari berbagai sumber, panjat pinang pertama kali diperkenalkan pada masa kolonial Belanda.
Perlombaan ini biasanya digelar pada tanggal 31 Agustus untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Saat itu, hanya orang pribumi yang boleh ikut memanjat batang pinang yang telah dilumuri minyak licin, sementara orang-orang Belanda menonton dari bawah sambil menertawakan perjuangan mereka.
Hadiah yang diperebutkan juga tak main-main, mulai dari bahan makanan seperti tepung, kopi, gula, keju, hingga pakaian—barang-barang mewah bagi rakyat pribumi kala itu. Namun untuk mendapatkannya, mereka harus bersusah payah memanjat batang pinang setinggi lima hingga sepuluh meter.
Perlombaan ini lebih dipandang sebagai hiburan bagi tuan tanah ketimbang bentuk penghargaan. Menurut Fandy Hutari dalam buku Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal, pada era 1930-an panjat pinang bahkan sering digelar dalam pesta pernikahan, kenaikan jabatan, hingga hajatan Belanda lainnya.
Artinya, lomba ini sarat dengan nuansa merendahkan rakyat pribumi. Pasca kemerdekaan 1945, panjat pinang berubah makna. Dari simbol ejekan, ia menjelma menjadi lomba rakyat yang penuh semangat kebersamaan.
Hadiah kini dikumpulkan dari panitia lokal, semua kalangan boleh ikut, dan sorakan penonton bernuansa dukungan, bukan lagi cemoohan. Panjat pinang akhirnya dimaknai sebagai simbol perjuangan.
Untuk mencapai puncak, peserta harus membangun kerja sama tim, menyusun strategi, dan pantang menyerah meski berkali-kali jatuh. Filosofi ini sejalan dengan semangat kemerdekaan Indonesia yang diperoleh lewat pengorbanan dan kebersamaan.
Kini, panjat pinang bukan hanya sekadar lomba memperebutkan hadiah, melainkan juga sarat nilai kehidupan:
Kerja sama tim: Tak ada satu orang yang bisa menang sendirian.
Pantang menyerah: Meski jatuh, peserta akan terus mencoba.
Strategi dan koordinasi: Tim harus membentuk piramida manusia yang kokoh.
Semua nilai itu menjadi cermin semangat bangsa Indonesia yang selalu bersatu dalam keberagaman