524 Pejabat Baru Dilantik Menteri PU Usai OTT: Bersih Bersih atau Tambah Beban Anggaran?

Pelantikan pejabat baru Kementerian PU pasca OTT KPK
Sumber :
  • instagram @dody_hanggodo

Viva, Banyumas - Sebagai respons atas rentetan kasus korupsi yang menjerat pejabat di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Menteri PU Dody Hanggodo mengambil langkah strategis. Mulai akhir Juni hingga awal Juli 2025, sebanyak 524 pejabat baru resmi dilantik, termasuk enam pejabat eselon 1.

Pelantikan besar-besaran ini disebut sebagai bagian dari upaya bersih-bersih kelembagaan dan reformasi struktural menyeluruh pasca operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dikutip dari informasi di Viva Langkah ini juga dimaksudkan untuk mendorong efisiensi anggaran dan memperbaiki angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio) di sektor infrastruktur, yang selama ini menjadi sorotan karena dinilai terlalu tinggi.

Namun, sejumlah pengamat kebijakan publik mempertanyakan urgensi dari pelantikan dalam skala besar ini. Pasalnya, ada kekhawatiran bahwa pengangkatan ratusan pejabat justru akan menambah beban belanja pegawai ketimbang menghemat anggaran negara.

Pelantikan tersebut dilakukan setelah OTT yang menghebohkan terjadi di Sumatera Utara. Dalam kasus itu, KPK menangkap Kepala Dinas PUPR Sumut dan sejumlah pejabat lainnya karena dugaan suap proyek pembangunan jalan senilai Rp157,8 miliar.

Dari penggeledahan, KPK menyita uang tunai sebesar Rp2,6 miliar, termasuk Rp231 juta dari rumah salah satu tersangka. Kekayaan Kadis PUPR Sumut sendiri dilaporkan mencapai Rp4,9 miliar sebelum ditangkap.

Menteri PU Dody Hanggodo menegaskan bahwa evaluasi menyeluruh dilakukan hingga ke level Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Ia menyebut bahwa sistem yang lemah di tingkat operasional menjadi salah satu penyebab utama terjadinya praktik korupsi.

Oleh karena itu, perombakan struktural dan penempatan ulang personel dipandang sebagai bagian dari solusi jangka panjang.

Namun demikian, kritik tetap mengemuka. Beberapa pihak menyebut bahwa perombakan besar ini bisa menjadi kontraproduktif jika tidak diiringi dengan reformasi sistem dan digitalisasi proses pengadaan yang ketat dan transparan.

Tanpa sistem yang terintegrasi dan akuntabel, potensi korupsi tetap tinggi meski orang-orangnya telah diganti. Kini publik menanti bukti nyata dari langkah “bersih-bersih” ini.

Akankah pengangkatan 524 pejabat baru membawa perubahan signifikan, atau justru menjadi ironi di tengah semangat efisiensi dan transparansi?

Viva, Banyumas - Sebagai respons atas rentetan kasus korupsi yang menjerat pejabat di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Menteri PU Dody Hanggodo mengambil langkah strategis. Mulai akhir Juni hingga awal Juli 2025, sebanyak 524 pejabat baru resmi dilantik, termasuk enam pejabat eselon 1.

Pelantikan besar-besaran ini disebut sebagai bagian dari upaya bersih-bersih kelembagaan dan reformasi struktural menyeluruh pasca operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dikutip dari informasi di Viva Langkah ini juga dimaksudkan untuk mendorong efisiensi anggaran dan memperbaiki angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio) di sektor infrastruktur, yang selama ini menjadi sorotan karena dinilai terlalu tinggi.

Namun, sejumlah pengamat kebijakan publik mempertanyakan urgensi dari pelantikan dalam skala besar ini. Pasalnya, ada kekhawatiran bahwa pengangkatan ratusan pejabat justru akan menambah beban belanja pegawai ketimbang menghemat anggaran negara.

Pelantikan tersebut dilakukan setelah OTT yang menghebohkan terjadi di Sumatera Utara. Dalam kasus itu, KPK menangkap Kepala Dinas PUPR Sumut dan sejumlah pejabat lainnya karena dugaan suap proyek pembangunan jalan senilai Rp157,8 miliar.

Dari penggeledahan, KPK menyita uang tunai sebesar Rp2,6 miliar, termasuk Rp231 juta dari rumah salah satu tersangka. Kekayaan Kadis PUPR Sumut sendiri dilaporkan mencapai Rp4,9 miliar sebelum ditangkap.

Menteri PU Dody Hanggodo menegaskan bahwa evaluasi menyeluruh dilakukan hingga ke level Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Ia menyebut bahwa sistem yang lemah di tingkat operasional menjadi salah satu penyebab utama terjadinya praktik korupsi.

Oleh karena itu, perombakan struktural dan penempatan ulang personel dipandang sebagai bagian dari solusi jangka panjang.

Namun demikian, kritik tetap mengemuka. Beberapa pihak menyebut bahwa perombakan besar ini bisa menjadi kontraproduktif jika tidak diiringi dengan reformasi sistem dan digitalisasi proses pengadaan yang ketat dan transparan.

Tanpa sistem yang terintegrasi dan akuntabel, potensi korupsi tetap tinggi meski orang-orangnya telah diganti. Kini publik menanti bukti nyata dari langkah “bersih-bersih” ini.

Akankah pengangkatan 524 pejabat baru membawa perubahan signifikan, atau justru menjadi ironi di tengah semangat efisiensi dan transparansi?