Al Jazeera dan CNA Soroti Krisis Kerja Gen Z RI: Sarjana Menganggur, Job Fair Ricuh di 2025
- pexel @Marc Mueller
Viva, Banyumas - Tahun 2025 menjadi titik sorotan internasional atas peliknya dunia kerja bagi generasi muda Indonesia. Media asing seperti Al Jazeera dan Channel News Asia (CNA) secara gamblang mengulas bagaimana para lulusan sarjana di Indonesia, khususnya generasi Z, menghadapi tantangan besar dalam memperoleh pekerjaan yang layak.
Dalam artikel Al Jazeera berjudul "Indonesia has 44 million youths. It’s struggling to get them jobs", disebutkan bahwa 16 persen dari 44 juta pemuda Indonesia yang masuk kategori Gen Z kini menganggur.
Angka ini dua kali lipat lebih tinggi dibanding negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. A
l Jazeera menyoroti kisah Andreas Hutapea, sarjana hukum yang lulus lebih awal namun harus menghadapi kenyataan pahit. Selama dua tahun, ia gagal dalam berbagai upaya mencari kerja, termasuk seleksi CPNS dan magang jaksa.
Akhirnya, Andreas kembali ke kampung halamannya di pinggiran Medan dan mengurus warung sembako milik orang tuanya, sembari mencoba usaha sewa sound system. Situasi serupa juga dilaporkan CNA dalam artikel berjudul "'Didn’t expect to struggle like this’: Indonesian workers in a bind as budget cuts, global headwinds bite".
CNA mengangkat kisah Marsha Dita (22), lulusan manajemen dari Depok yang telah melamar ke 100 perusahaan dalam waktu sembilan bulan, namun belum juga memperoleh pekerjaan.
Krisis ini bahkan memicu insiden memalukan di sebuah job fair Bekasi yang dihadiri 25.000 orang. Peserta membludak, saling dorong, hingga menyebabkan beberapa orang pingsan.
Job fair tersebut hanya menyediakan sekitar 2.000 posisi kerja, memperlihatkan kesenjangan antara jumlah pencari kerja dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Pengamat ekonomi dari CSIS, Adinova Fauri, menyatakan bahwa banyak pemuda memilih tidak bekerja sama sekali dibanding menerima gaji yang jauh di bawah ekspektasi.
Hal ini turut diperparah oleh rencana pemangkasan anggaran layanan publik oleh pemerintah, yang sempat memicu aksi protes mahasiswa melalui gerakan "Indonesia Gelap".
Survei ISEAS-Yusof Ishak Institute juga mengungkap hanya 58% pemuda Indonesia yang optimis terhadap arah ekonomi negara, jauh di bawah rata-rata 75% negara ASEAN lainnya. Kondisi ini menegaskan bahwa Indonesia tengah menghadapi tantangan serius dalam mengelola bonus demografi.
Tanpa solusi konkret dari pemerintah, pengangguran struktural di kalangan Gen Z berpotensi menimbulkan krisis sosial dan ekonomi jangka panjang
Viva, Banyumas - Tahun 2025 menjadi titik sorotan internasional atas peliknya dunia kerja bagi generasi muda Indonesia. Media asing seperti Al Jazeera dan Channel News Asia (CNA) secara gamblang mengulas bagaimana para lulusan sarjana di Indonesia, khususnya generasi Z, menghadapi tantangan besar dalam memperoleh pekerjaan yang layak.
Dalam artikel Al Jazeera berjudul "Indonesia has 44 million youths. It’s struggling to get them jobs", disebutkan bahwa 16 persen dari 44 juta pemuda Indonesia yang masuk kategori Gen Z kini menganggur.
Angka ini dua kali lipat lebih tinggi dibanding negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. A
l Jazeera menyoroti kisah Andreas Hutapea, sarjana hukum yang lulus lebih awal namun harus menghadapi kenyataan pahit. Selama dua tahun, ia gagal dalam berbagai upaya mencari kerja, termasuk seleksi CPNS dan magang jaksa.
Akhirnya, Andreas kembali ke kampung halamannya di pinggiran Medan dan mengurus warung sembako milik orang tuanya, sembari mencoba usaha sewa sound system. Situasi serupa juga dilaporkan CNA dalam artikel berjudul "'Didn’t expect to struggle like this’: Indonesian workers in a bind as budget cuts, global headwinds bite".
CNA mengangkat kisah Marsha Dita (22), lulusan manajemen dari Depok yang telah melamar ke 100 perusahaan dalam waktu sembilan bulan, namun belum juga memperoleh pekerjaan.
Krisis ini bahkan memicu insiden memalukan di sebuah job fair Bekasi yang dihadiri 25.000 orang. Peserta membludak, saling dorong, hingga menyebabkan beberapa orang pingsan.
Job fair tersebut hanya menyediakan sekitar 2.000 posisi kerja, memperlihatkan kesenjangan antara jumlah pencari kerja dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Pengamat ekonomi dari CSIS, Adinova Fauri, menyatakan bahwa banyak pemuda memilih tidak bekerja sama sekali dibanding menerima gaji yang jauh di bawah ekspektasi.
Hal ini turut diperparah oleh rencana pemangkasan anggaran layanan publik oleh pemerintah, yang sempat memicu aksi protes mahasiswa melalui gerakan "Indonesia Gelap".
Survei ISEAS-Yusof Ishak Institute juga mengungkap hanya 58% pemuda Indonesia yang optimis terhadap arah ekonomi negara, jauh di bawah rata-rata 75% negara ASEAN lainnya. Kondisi ini menegaskan bahwa Indonesia tengah menghadapi tantangan serius dalam mengelola bonus demografi.
Tanpa solusi konkret dari pemerintah, pengangguran struktural di kalangan Gen Z berpotensi menimbulkan krisis sosial dan ekonomi jangka panjang